TEORI PENGKAJIAN FIKSI
Meresum Buku Teori Pengkajian Fiksi
Karya Burhan Nurgiyantoro
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Pengkajian Fiksi
Dosen Pengampu Dr. Ali Imran, M. Hum
Disusun Oleh :
DIYAN SAFITRI
A310080143
PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2010
BAB I
FIKSI : SEBUAH TEKS PROSA NARATIF
1.
FIKSI
PENGERTIAN
DAN HAKIKAT
Menurut Altenbernd dan Lewis (1996:14)
mengartikan fiksi sebagai “prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun
biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan
hubungan-hubungan antar manusia”. Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan
manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan
diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Membaca sebuah karya fiksi
berarti menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin.
Betapapun syaratnya pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan,
sebuah karya fiksi haruslah tetap merupakan cerita yang menarik, tetap
merupakan bangunan struktur yang koheren, dan tetap mempunyai tujuan estetik
(Wellek & Warren, 1956: 212). Fiksi pertama-tama menyrankan pada prosa
naratif, yang dalam hal ini adalah novel dan cerpen, bahkan kemudian fiksi
sering dianggap bersinonim dengan novel (Abrams, 1981: 61).
Kebenaran dalam dunia fiksi adalah
kebenaran yang sesuai dengan keyakinan pengarang, keyakinan yang diyakini
“keabsahannya” sesuai dengan pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan.
Menurut Teeuw, 1984: 121 mengemukakan bahwa sastra mengemukakan berbagai
peristiwa yang masuk akal dan harus terjadi berdasarkan tuntutan konsistensi
dan logika cerita. Wellek Warren (1989:278-9) mengemukakan bahwa
realitas dalam karya fiksi merupakan ilusi kenyataan dan kesan yang meyakinkan
yang ditampilkan, namun tidak selalu merupakan kenyataan sehari-hari.
2.
PEMBEDAAN FIKSI
a.
Novel Dan Cerita Pendek
Perbedaan antara novel dengan cerpen yang
pertama (dan yang terutama) dapat dilihat dari segi formalitas bentuk, segi
panjang cerita.sebuah cerita yang panjang, katakanlah berjumlah ratusan
halaman, jelas tidak dapat disebut sebagai cerpen, melainkan lebih tepat
sebagai novel. Edgar Allan Poe (Jassin, 1961:72) mengatakan bahwa sebuah cerita
yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah
sampai dua jam, suatu hal yang tak mungkin dila Novel dan cerpen sebagai karya
fiksi mempunyai persamaan, keduanya dibangun oleh unsur-unsur pembangun (baca:
unsure-unsur cerita) yang sama, keduanya dibangun dari dua unsure intrinsic dan
ekstrinsik. Oleh karena itu novel
dan cerpen dapat dianalisis dengan pendekatan yang kurang lebih sama.
Kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya mengemukakan secara lebih
banyak, jadi secara implicit dari sekedar apa yang diceritakan. Kelebihan novel
yang khas adalah kemampuannya menyampaikan permasalahan yang kompleks secara
penuh, mengkreasikan sebuah dunia yang jadi. Plot pada cerpen umumnya tunggal,
hanya terdiri dari satu urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir .
pada novel biasanya memiliki lebih dari satu plot. Tema pada cerpen hanya berisi satu tema,
sedangkan pada novel menawarkan lebih dari satu tema. Penokohan pada cerpen dan
novel terbatas, apalagi yang berstatus tokoh utama, namun tokoh dalam cerpen
lebih terbatas lagi. Latar pada cerpen hanya memerlukan pelukisan secara garis
besar saja, sedangkan novel dapat saja melukiskan keadaan latar secara rinci
sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih jelas, konkret dan pasti.
Kepaduan dunia imajiner yang ditampilkan cerpen hanya menyangkut salah satu
sisi kecil pengalaman kehidupan saja, sedang yang ditawarkan novel merupakan
dunia dalam skala yang lebih besar dan kompleks, mencakup berbagai pengalaman
kehidupan yang dipandang aktual, namun semuanya tetap saling berjalinan. Novel
bersifat relistis sedangkan romansa puitis dan epic. Novel berkembang dari
bentuk-bentuk naratif nonfiksi, sedangkan roman merupakan kelanjutan epik dan
romansa abad pertengahan, mengabaikan kepatuhan pada detil (Wellek Warren,
1989: 282-3).
b.
Novel Serius Dan Novel Populer
Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak
penggemarnya, khususnya pembaca dikalangan remaja. Sastra populer akan setia
memantulkan kembali emosi-emosi dan bukan penafsiran tentang emosi itu. Oleh
karena itu, sastra populer yang baik banyak mengundang pembaca untuk
mengidentifikasikan dirinya (Kayam, 1981: 88). Novel serius di pihak lain,
justru “harus” sanggup memberikan yang serba berkemungkinan, dan itulah sebenarnya
makna sastra yang sastra. Novel populer lebih mengejar selera pembaca
komersial, ia tak akan menceritakan sesuatu yang bersifat serius sebab hal itu
dapat berarti akan berkurangnya jumlah penggemarnya. Novel serius biasanya
berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan cara pengucapan yang baru pula.
3.
UNSUR-UNSUR FIKSI
a. Intrinsik
dan Ekstrinsik
Unsur instrinsik adalah unsur-unsur yang
membangun karya sastra itu sendiri.Unsur instrinsik sebuah novel adalah
unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita.
Unsur ekstrinsik adalh unsur-unsur yang berada di luar karya
sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau system
organism karya sastra.. Unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah
karya sastra, namun sendiri tidak ikut bagian di dalmnya.
b. Fakta,
Tema, Sarana Cerita
Stanton (1965:11-36) membedakan unsur pembangunan sebuah novel ke dalam
bagian: fakta, tema, dan sarana pengucapan (sastra). Tema adalah sesuatu yang
menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan,
seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religius.Sarana pengucapan
sastra, sarana kesastraan adalah teknik yang dipergunakan oleh pengarang untuk
memilih dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa kejadian) menjadi pola yang
bermakna. Macam sarana kesastraan yang dimaksud antara lain berupa sudut
pandang penceritaan, gaya (bahasa) dan nada, simbolisme, dan ironi.
c. Cerita
dan Wacana
Cerita merupakan isi dari ekspresif
naratif, sedang wacana merupakan bentuk dari suatu (baca; cerita; isi) yang
diekspresikan (Chatman, 1980:23).
Aksi
Peristiwa
Kejadian
Bentuk
Tokoh
Eksistensi
Latar
Cerita
Substansi - keseluruhan semesta
(nyata dan imajinatif)
Teks naratif
Bentuk – struktur transmisi
naratif
(susunan, frekuensi, perspektif,dll)
Wacana
Substansi – wujud ekspresi
(verbal, sinematis, pantonime,
gambar,dll)
BAB
2
KAJIAN
FIKSI
1.
HAKIKAT KAJIAN FIKSI
Pengkajian
terhadap karya fiksi berarti penelaahan, penyelidikan, atau mengkaji, menelaah,
mrnyelidiki karya fiksi tersebut. Untuk melakukan pengkajian terhadap
unsur-unsur pembentuk karya sastra, khususnya fiksi, pada umumnya kegiatan itu
disertai oleh kerja analisis. Analisis karya fiksi, menyaran pada pengertian
mengurai karya itu atas unsur-unsur pembentuknya tersebut yaitu yang berupa
unsur-unsur intrinsiknya. Tujuan utama kerja analisis kesastraan, fiksi, puisi
ataupun yang lain adalah untuk dapat memahami secara lebih baik karya sastra
yang bersangkutan, disamping untuk membantu menjelaskan pembaca yang kurang
dapat memahami karya itu.
Kerja heuristik
merupakan pembacaan karya sastra pada system semiotic tingkat pertama yang
berupa pemahaman makna sebagaimana yang dikonvensikan oleh bahasa yang
bersangkutan. Kerja heuristic menghasilkan pemahaman makna secara harfiah,
makna tersurat, actual meaning. Namun, dalam banyak kasus karya sastra, makna
yang sebenarnya ingin disampaikan oleh pengarang justru diungkapkan hanya
secara tersirat yaitu yang disebut sebagai makna intensional, intencional
meaning. Untuk itu, kerja penafsiran
karya sastra harus sampai pada tataran semiotic tingkat kedua. Artinya berdasarkan makna dari hasil kerja
heuristik di atas, dicoba tafsirkan makna tersiratnya, signifikansinya.
2.
KAJIAN STRUKTURAL
Masalah unsur dan hubungan antar unsur merupakan
hal yang penting dalam pendekatan ini. Sebuah karya sastra, fiksi menurut kaum
Strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh
berbagai unsure pembangunnya. Di satu pihak, struktur karya sastra dapat
diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang
menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams,
1981:68). Dipihak lain, struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian
hubungan antar unsur (intrinsik) yang
bersifat timbal-balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara
bersama membentuk satu kesatuan yang utuh.
3.
KAJIAN SEMIOTIK
Dalam pandangan
semiotik yang berasal dari teori Saussure bahasa merupakan sebuah system tanda,
dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna.
Bahasa sebagai suatu sistem tanda dalam teks kesastraan, tidak hanya menyaran
pada system makna tingkat pertama melainkan terlebih pada system makna tingkat
kedua (Culler,1977:114). Dalam kajian semiotik kesastraan, pemahaman dan
penerapan konsep ikonisitas kiranya memberikan sumbangan yang berarti. Pierce membedakan ikon ke dalam tiga
macam, yaitu ikon topologis, diagramatik dan metaforis.
b. Teori Semiotik Saussure
Teori
Saussure berkaitan dengan pengembangan teori linguistic. Bahasa sebagai sebuah
system tanda, menurut Saussure, memiliki dua unsur yang tak terpisahkan,
signifier dan signified, signifiant dan signifie, atau penenda atau petanda.
Wujud signifiant dapat berupa bunyi-bunyi ujaran atau huruf-huruf tulisan,
sedang signifie (petanda) adalah unsure konseptual, gagasan, atau makna yang
terkandung dalam penanda tersebur (Abrams,1981:171)
4.
KAJIAN INTERTEKSTUAL
Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian
terhadap sejumlah teks, yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubngan tertentu,
misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsure-unsur intrinsic seperti ide,
gagasan, peristiwa, plot, penokohan, gaya(bahasa),
dan lain-lain diantara teks-teks yang dikaji. Kajian intertekstual berusaha
menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada
karya yang muncul lebih kemudian. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah
untuk memberikan makna secra lebih penuh terhadap karya tersebut. Penulisan
atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsure kesejarahannya
sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsure
kesejarahannya itu(Teeuw, 1983).
5.
Dekonstruksi pada
hakikatnya merupakan suatu cara membaca sebuah teks yang menumbangkan anggapan
bahwa sebuah teks itu memiliki landasan, dalamsistem bahasa yang berlaku, untuk
menegaskan struktur, keutuhan, dan makna yang telah menentu (Abrams,1981:38). Teori dekonstruksi menolak pandangan bahwa
bahasa telah memiliki makna yang pasti, tertentu, dan konstan, sebagaimana
halnya pandangan strukturalisme klasik. Tidak ada ungkapan atau bentuk-bentuk
kebahasaan yang dipergunakan untuk membahasakan objek yang bermakna tertentu
dan pasti. Hal ini merupakan alas an paham dekonstruksi disebut juga sebagai
posstrukturalisme.
BAB 3
TEMA
1. HAKIKAT TEMA
Mempertanyakan
makna sebuah sebuah karya sastra, sebenarnya juga berarti mempertanyakan tema.
Setiap karya fiksi tentulah mengandung dan atau menawarkan tema, namun apa isi
tema itu sendiri tak mudah ditunjukkan. Ia haruslah dipahami dan ditafsirkan
melalui cerita dan data-data (baca unsur-unsur pembangun cerita) yang lain, dan
itu merupakan kegiatan yang sering tidak mudah dilakukan. Pengertian tema
sebagai salah satu unsur karya sastra, maupun untuk mendeskripsikan pernyataan
tema yang dikandung dan ditawarkan oleh sebuah cerita novel. Kedua hal itu
memang berkaitan. Kejelasan pengertian tema akan membantu usaha penafsiran dan
pendeskripsian pernyataan tema sebuah karya fiksi. Tema (theme), menurut
Stanton (1965:20) dan Kenny (1966: 88), adalh makna yang dikandung oleh sebuah
cerita. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan
yang terkandung di dalam teks sebagai stuktur semantis dan yang menyangkut
persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko dan Rahmanto, 1986: 142).
Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai
seluruh bagian cerita itu. Pengertian tema menurut Staton (1965: 21), yaitu
yang mengartikan tema sebagai “makna sebuah cerita yang secara khusus
menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana”. Tema
menurutnya, kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama (central idea) dan
tujuan utama (central purpose).
2. TEMA : MENGANGKAT MASALAH KEHIDUPAN
Pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah
hidup dan kehidupan itu menjadi tema dan atau sub-sub tema ke dalam karya fiksi
sesuai dengan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan lingkungan. Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan
dengan makna (pengalaman) kehidupan. Melalui karyanya itulah pengarang
menawarkan makna tertentu kehidupan, mengajak pembaca untuk melihat, merasakan,
dan menghayati makna (pengalaman) kehidupan tersebut dengan cara memandang
permasalahan itu sebagaimana ia memandangnya. Pemilihan tema-tema tertentu ke
dalam sebuah karya, sekali lagi, bersifat subjektif : masalah kehidupan manakah
yang paling menarik perhatian pengarang sehingga merasa terdorong untuk
mengungkapkannya ke dalam bentuk karya. Atau pengarang menganggap masalah itu
penting, mengharukan, sehingga ia merasa perlu untuk mendialogkannya ke dalam
karya sebagai sarana mengajak pembaca untuk ikut merenungkannya.
3.
TEMA DAN UNSUR CERITA YANG LAIN
Tema dalam
sebuah karya sastra, fiksi hanyalah merupakan salah satu dari sejumlah unsur
pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah
kemenyeluruhan. Tema sebuah cerita tidak mungkin disampaikan secara langsung,
melainkan “hanya” secara implisit melalui cerita. Unsur-unsur ceria yang lain,
khususnya yang oleh Stanton dikelompokkan sebagai fakta cerita-tokoh, plot,
latar-yang “bertugas” mendukung dan menyampaikan tema tersebut.
Di pihak
lain, unsur-unsur tokoh (dan penokohan), plot (dan pemplotan), latar (dan
pelataran), dan cerita, dimungkinkan menjadi padu dan bermakna jika di ikat
oleh sebuah tema. Tema bersifat memberi koherensi dan makna terhadap ke empat
unsur tersebut dan juga berbagai unsur fiksi yang lain. Plot dipihak lain,
berkaitan erat dengan tokoh cerita. Plot pada hakikatnya adalah apa yang
dilakukan oleh tokoh dan peristiwa apa yang terjadi dan dialami tokoh (Kenny,
1966: 95). Plot merupakan penyajian secara linear tentang berbagai hal yang
berhubungan dengan tokoh, maka pemahaman kita terhadap cerita amatditentukan
oleh plot. Latar merupakan tempat, saat, dan keadaan sosial yang menjadi wadah
tempat tokoh melakukan dan dikenai sesuatu kejadian. Latar bersifat memberikan
‘aturan” permainan terhadap tokoh. Latar akan mempengaruhi tingkah laku dan
cara berpikir tokoh, dan karenanya akan mempengaruhi pemilihan tema. Atau
sebaliknya, tema yang (sudah) dipilih akan menuntut pemilihan latar (dan
tokoh)yang sesuai dan mampu mendukung.
4. PENGGOLONGAN TEMA
a.
Tema Tradisional dan Nontradisional
Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang
menunjuk pada tema yang hanya “itu-itu” saja, dalam arti ia telah lama dipergunakan
dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita, termasuk cerita lama. Tema-tema
tradisional walau banyak variasinya, boleh dikatakan selalu ad kaitannya dengan
masalah kebenaran dan kejahatan (Meredth & Fitzgerald, 1972: 66). Pada umumnya tema-tema tradisional
merupakan tema yang digemari orang dengan status sosial apa pun, di manapun,
dan kapanpun. Hal itu disebabkan pada dasarnya setiap orang cinta akan
kebenaran dan membenci sesuatu yang sebaliknya, (bahkan mungkin) termasuk orang
yang sebenarnya tak tergolong baik sekalipun.
Selain
hal-hal yang bersifat tradisional, tema sebuah karya mungkin saja mengangkat
sesuatu yang tidal lazim, katakan sasuatu yang bersifat nontradisional. Karena
sifatnya yang nontradisional, tema yang demikian, mungkin tidak sesuai dengan
harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengajutkan, bahkan boleh jadi
mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai reaksi afektif yang lain.
b.
Tingkatan Tema Menurut Shipley
Shipley dalam Dictionary
of World literature (1962: 417), mengartikan tema sebagai subjek wacana,
topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam cerita. Shipley
membedakan tema-tema karya sastra ke dalam tingkatan-tingkatan semuanya ada
lima tingkatan berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa, yang disusun dari tingkatan
yang paling sederhana, tingkat tumbuhan dan makhluk hidup, ke tinggkat yang
paling tinggi yang hanya dapat dicapai oleh manusia. Kelima tingkatan tema
tersebut sebagai berikut.
Pertama, tema
tingkat fisik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) molekul, man as molecul. Tema karya sastra pada
tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan oleh banyaknya aktifitas
fisik dari pada kejiwaan. Ia lebih
menekankan mobilitas fisik dari pada konflik kejiwaan tokoh cerita yang
bersangkutan. Unsur latar dalam novel dengan penonjolan tema tingkat ini
pendapat penekanan.
Kedua, tema tingkat organik, manusia sebagai ( atau dalam tingkat kejiwaan)
protoplasma, man as protoplasm. Tema
karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah
seksualitas- suatu aktifitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup.
Berbagai persoalan kehidupan seksual manusia mendapat penekanan dalam novel
yang bersifat menyimpang, misalnya berupa penyelewengan dan penghianatan suami
istri, atau skandal-skandak seksual yang lain.
Ketiga, tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as socious. Kehidupan bermasyarakat, yang merupakan tempat
aksi-interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung
banyak permasalahan, konflik, dan lain-lain yang menjadi objek pencarian
tema.masalah-masalah sosial itu antara lain berupa masalah ekonomi, politik,
pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan
atasan-bawahan dan berbagai masalah dan hubungan sosial lainnya yang biasanya
muncul dalam karya yang berisi kritik sosial.
Keempat, tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as individualism. Disamping sebagai
makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa
“menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya. Dalam kedudukannya sebagai
makhluk individu, manusia pun mempunyai banyak permasalahan dan konflik,
misalnya yang berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang
dihadapinya. Masalah individu itu antara lain berupa masalah egoisitas,
martabat, harga diri atau sifat dan sikap tertentu manusia lainnya, yang pada
umumnya lebih bersifat batin dan dirasakan oleh yang bersangkutan. Masalah
individualitas biasanya menunjukkan jati diri, citra diri, atau sosok kepribadian
sesearang.
c.
Tema Utama dan Tema Tambahan
Tema pada
hakikatnya merupakan makna yang dikandung cerita, atau secara singkat : makna
cerita. Makna cerita dalam sebuah fiksi-novel, mungkin saja lebih dari satu,
atau lebih tepatnya lebih dari satu interpretasi. Hal inilah yang menyebabkan
tidak mudahnya kita untuk menentukan tema pokok cerita, atau tema mayor (artinya : makna pokok
cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu). Menentukan tema
pokok sebuah cerita pada hakikatnya merupakan aktivitas memilih,
mempertimbangkan, dan menilai, diantara sejumlah makna yang ditafsirkan ada
dikandung oleh karya yang bersangkutan.
Makna pokok
cerita tersirat dalam sebagian besar, untuk tidak dikatakan dalam kesekuruhan,
cerita, bukan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita
saja. Makna yang hanya terdapat pada bagian –bagian tertentu cerita dapat
diidentifikasi sebagai makna bagian, makna tambahan. Makna-makna tambahan
inilah yang dapat disebut sebagai tema-tema tambahan, atau tema minor. Dengan demikian, banyak sedikitnya tema minor
tergantung pada banyak sedikitnya makna tambahan yang dapat ditafsirkan dari
sebuah cerita novel. Penafsiran makna itu pun haruslah dibatasi pada
makna-makna yang terlihat menonjol, disamping mempunyai bukti-bukti konkrit
yang terdapat pada karya itu yang dapat dijadikan dasar untuk
mempertanggungjawabkannya. Artinya, penunjuk kan dan atau penafsiran sebuah
makna tertentu pada sebuah karya itu bukannya dilakukan secara ngawur saja.
5. PENAFSIRAN TEMA
Penafsiran tema sebuah novel memang bukan pekerjaan
yang mudah. Walau betul penulisan sebuah novel didasarkan pada tema atau ide
tertentu, pernyataan tema itu sendiri pada umumnya tidak dikemukakan secara
eksplisit. Tema hadir dan berpadu dengan unsur-unsur struktural yang lain
sehingga yang kita jumpai dalam sebuah novel adalah (hanya) cerita. Tema
tersembunyi dibalik cerita itu. Jika pekerjaan menafsirkan itu sudah sitemukan,
artinya kita sudah menentukan tema karya novel yang bersangkutan, hasil
penafsiran itu pun belum tentu diterima orang lain.
Berhubung tema tersembunyi di balik cerita, penafsiran
terhadapnya haruslah dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada yang secara
keseluruhan membangun cerita itu. Kita haruslah mulai dengan memahami cerita
itu, mencari kejelasan ide-ide perwatakan, peristiwa-peristiwa-konflik, dan
latar. Para tokoh utama biasanya “dibebani”
tugas membawakan tema, maka kita perlu memahami keadaan itu.
Dalam usaha menentukan dan menafsirkan tema sebuah
novel, secara lebih khusus dan rinci, Stanton
(1965: 22-3) mengemukakan adanya sejumlah kriteria yang dapat di ikuti seperti ditunjukkan berikut.
Pertama, penafsiran tema sebuah novel hendaknya
mempertimbangkan tiap detil cerita yang menonjol. Kriteria ini merupakan hal
yang paling penting. Hal itu disebabkan pada detil-detil yang menonjol (atau
ditonjolkan) itulah yang dapat diidentifikasi sebagai tokoh masalah-konflik
utama- pada umumnya sesuatu yang ingin disampaikan ditempatkan.
Kedua, penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan
tiap detil cerita. Novel, sebagai salah satu genre sastra, merupakan suatu
sarana pengungkapan keyakinan, kebenaran, ide, gagasan, sikap dan pandangan
hidup pengarang, dan lain-lain yang tergolong unsur isi dan sebagai sesuatu
yang ingin disampaikan.
Ketiga, penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada
bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tak langsung
dalam novel yang bersangkutan.
Keempat, penafsiran tema sebuah novel haruslah mendasarkan
diri pada bukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang disarankan dalam
cerita.
BAB 4
CERITA
1.
Hakikat Cerita
Membaca sebuah karya fiksi, novel ataupun cerpen pada
umunya yang menarik perhatian orang adalah ceritanya. Faktor cerita yang utama
memepengaruhi sikap dan selera orang terhadap buku yang akan, sedang atau sudah
dibacanya. Berdasarkan keadaan cerita itu pulalah biasanya memandang bahwa buku
tersebut menarik, menyenangkan, mengesankan atau sebaliknya bertele – tele.
Tentu saja sikap pembaca terhadap karya tersebut bersifat nisbi artinya selera
pembaca yang satu belum tentu sama dengan pembaca yang lain. Membaca sebuah
buku cerita akan memberikan semacam kenikmatan dan kepuasan tersendiri di hati
pembaca, baik pembaca awam maupun pembaca yang dapat dikategorikan sebagai
kritikus. Pembaca golongan pertama biasanya terhenti pada rasa kekaguman
terhadap kehebatan cerita dan tidak memikirkan lebih lanjut tentang kualitas
pemahamannya terhadap apa yang ingin disampaikan pengarang terhadap lewat
cerita itu. Pembaca golongan kedua dipihak lain biasanya tak akan berhenti pada
kekaguman terhadap kehebatan cerita dan keindahan cara pengungkapannya. Mereka
memiliki semacam kepekaan reaktif untuk memberikan tangapan – tanggapan.
Aspek
cerita (story) dalam sebuah karya fiksi merupakan suatu hal yang sangat esensial. Ia mememiliki peranan sentral dari awal hingga
akhirnya ditemui adalah cerita. Forster (1970 : 33-34) jauh-jauh telah
menegaskan bahwa cerita merupakan hal yang fundamental dalam karya fiksi. Tanpa
unsur cerita, eksistensi sebuah fiksi tak mungin berwujud, sebab cerita
merupakan inti sebuah karya fiksi yang
sendiri adalah karya rekaan. Bagus tidaknya cerita yang disajikan, di samping
akan memotivasi seseorang untuk membacanya juga akan mempengaruhi unsur – unsur
pembangun yang lainnya. Foster (1970 : 35) mengartikan cerita sebagai sebuah
narasi berbagai kejadian yang sengaja disususun berdasarkan urutan waktu.
Misalnya (kejadian) mengantuk kemudian tertidur, begitu melihat wanita cantik
lansung jatuh cinta, marah – marah karena disinggung perasaannya dan
sebagainya. Abrams (1981 : 61) juga
memberikan pengertian cerita sebagai sebuah urutan kejadian yang sederhana
dalam urutan waktu. Kenny (1966 : 12) mengartikan sebuah peristiwa yang terjadi
berdasarkan urutan waktu yang disajikan dalam sebuah karya fiksi. Dalam cerita,
peristiwa yang satu berlangsung sesudah terjadinya peristiwa yang lain. Kaitan
waktu dan urutan antar peristiwa yang dikisahkan haruslah jelas, yang sesuai
dengan pengertian di atas, bersifat kronologis di samping sebagaimana
dikemukakan Aristoteles, ia harus bersebab – akibat sehingga jelas urutan awal,
tengah dan akhirnya. Urutan waktu linier – kronologis adalah urutan waktu yang
sederhana, mudah dipahami bagaimana hubungan antar peristiwa yang
dikisahkan. Di samping aspek bentuk,
cerita juga memiliki aspek subtansi yaitu yang berwujud keseluruhan semesta,
baik yang nyata maupun yang imajinatif, yang diimitasikan ke dalam karya dan
telah disaring oleh kode sosial – budaya pengarang. Dengan demikian pembicaraan
tentang hakikat cerita mau tak mau akan melibatkan kedua unsur (bentuk dan
subtansi) cerita tersebut.
Unsur peristiwa merupakan sesuatu yang
diakui dan atau ditimpakan kepada tokoh cerita. Unsur subtansi menyediakan
sumber persoalan dan memberikan model kehidupan sebagaimana yang terdapat di
semesta ini ditampilkan dalam cerita. Peristiwa merupakan gagasan yang berwujud
lakuan, gerak atau aktivitas yang lain. Walau cerita merupakan deretan
peristiwa yang terjadi sesuai dengan urutan waktu, jadi secara kronologis dalam
sebuah karya fiksi, urutan peristiwa itu sering disiasati dan dimanipulasi
sehingga tak dapat lagi disebut sederhana. Peristiwa yang dikisahkan tak harus
urut dari awal sampai akhir, melainkan dapat dimulai dari titik peristiwa mana
saja sesuai dengan keinginan dan kreativitas pengarang. Manipulasi waktu
tersebut dalam karya fiksi biasanya pembalikan waktu penceritaan, peristiwa
yang secara logika – kualitas terjadi belakangan justru diceritakan lebih dulu.
Pembicaraan urutan peristiwa dan juga peristiwanya itu sendiri dalam sebuah
karya fiksi memang tak dapat di pisahkan dengan pembicaraan plot.
2.
Cerita dan Plot
Cerita
dan plot merupakan dua unsur fiksi yang erat berkaitam sehingga keduanya tak mungin
dipisahkan. Objek pembicaraan cerita dan plot boleh dikatakan sama. Peristiwa baik cerita maupun plot sama
– sama mendasarkan diri pada rangkaian peristiwa sebagaimana yang disajikan
dalam sebuah karya. Dengan demikian
terdapat perbedaan inti permasalahan antara cerita dengan plot. Keduanya memang
sama – sama mendasarkan diri pada rangkaian peristiwa namun “tuntutan” plot bersifat lebih kompleks daripada cerita.
Cerita sekedar mempertanyakan apa dan atau bagaimana kelanjutan peristiwa
sedang plot lebih menekankan permasalahannya pada hubungan kualitas, kelogisan
hubungan antara peristiwa yang dikisahkan dalam karya naratif yang disangkutan.
Kedua hal ini lah yang menurut Forster (1970 : 94). Forster mencotohkan bahwa
pernyataan yang berbunyi : “sang raja meninggal, kemudian yang permaisuri
menyusulnya” merupakan cerita, sedang pernyataan : “sang raja meninggal
kemudian sang permasuri menyusulnya karena sedih” merupakan plot. Chatman (1980
: 45-46) sebenarnya pernyataan pertama dan kedua itu hampir sama artinya
pembaca dapat merasakan dan atau memahami adanya hubungan antara kejadian sang
raja meninggal dan sang permaisuri meninggal kemudian, yaitu yang berupa
hubungan kelogisan, tepatnya hubungan kualitas. Hal yang membedakan keduanya
sebenarnya hanya kadar keeksplisitannya. Hubungan kualitas pada pernyataan
pertama hanya dikemukakan secara implisit sedang yang kedua secara eksplisit.
Tuntutan untuk plot dalam sebuah karya
fiksi lebih daripada sekedar cerita. Plot, seperti dikatakan forster (1970 :
34, 94) merupakan sesuatu yang lebih tinggi dan kompleks daripada cerita. Plot
mengandung unsur misteri di samping untuk memahaminya dan juga mengembangkan,
menuntut adanya unsur intelegensia. Plot menuntut adanya kejelasan peristiwa
yang dikisahkan dan tidak sekedar urutan temporal saja. Jika kita sekedar ingin
tahu isi dan kehebatan cerita, hal ini dapat dipenuhi hanya dengan membaca
ringkasan cerita atau sinopsis saja. Sinopsis yang baik dari hal itu dapat
ditentukan oleh bentuknya yang panjang atau pendek sudah dapat mencerminkan
garis besar cerita aslinya. Sinopsis hanya mengemukakan peristiwa yang penting
saja, peristiwa yang menentukan jalannya plot jadi terbatas pada peristiwa yang
tergolong fungsional saja dan karenanya ia dapat dibaca secara cepat.
3.
Cerita dan Pokok Permasalahan
Pokok
permasalahan (subject matter) merupakan suatu hal yang diangkat kedalam cerita
sebuah fiksi. Dalam kenyataan kehidupan terdapat berbagai permasalahn yang
sering dihadapi manusia, misalnya permasalahan antar manusia, sosial, hubungan
manusia dengan Tuhan, lingkungan , diri sendiri dsb. Permasalahan itu mungkin
bersifat universal, tetapi mungkin juga khusus dan bahkan pribadi. Ada permasalahan yang bersifat biasa,
menarik, menegangkan, sensasional, dramatik dsb. Pengarang fiksi adalah seorang
pelaku sekaligus pengamat berbagai permasalahan hidup dan kehidupan yang
berusaha mengungkapkan dan mengangkatnya ke dalam sebuah karya. Permasalahan
yang telah dipilih dan kemudian diolah untuk dijadikan cerita dalam sebuah
karya fiksi dapat disebut sebagai isi cerita, dengan demikian menurut Kenny
(1966 : 10) terdapat perbedaan antara pokok permasalahan dengan isi cerita. Isi
cerita adalah sesuatu yang dikisahkan dalam sebuah karya fiksi. Ia telah
menjadi bagian yang integral dengan karya yang bersangkutan dan berkaitan erat
dengan aspek bentuknya. Pokok permasalahan di pihak lain bukan merupakan
sesuatau yang dikandung bahkan belum menjadi karya itu, melainkan merupakan
sesuatu yang diacu atau berkaitan dengan isi cerita. Pilihan pokok permasalahan
ke dalam sebuah karya fiksi biasanya ada kaitannya dengan pemilihan tema.
Paling tidak terdapat kesesuaian antar pemilihan keduanya dan hal yang demikian
akan mempermudah pembaca untuk memahaminya. Tema, mungkin sekali disarikan dari
pokok permasalahn (yang telah menjadi isi cerita) yang diungkapkan atau
sebaliknya, pokok permasalahan mencerminkan tema.
4.
Cerita dan Fakta
Dalam
sebuah karya fiksi sering dijumpai peristiwa – peristiwa dan permasalahan yang
diceritakan, karena keahlian dan kemampuan imajinasi pengarang, tampak konkret
dan seperti benar – benar ada dan terjadi. Sebuah karya mungkin saja ditulis
berdasarkan data – data faktual, peristiwa – peristiwa dan sesuatu yang lain
benar - bernar ada dan terjadi. Namun, ia dapat pula ditulis “hanya”
berdasarkan peristiwa dan sesuatu yang dibayangkan (imajinasi) mungkin ada dan
terjadi, walau secara faktual hal – hal ini tak pernah ditemui di dunia nyata.
Karya yang pertama menyaran pada tulisan yang memuat hal – hal yang nyata ada
terjadi (fact), sedang yang kedua menyaran pada karangan yang berisi hal – hal
yang dikhayalkan (fiction) Kartahadimaja, (1978 : 9-10). Namun pemilihan suatu
karya berdasarkan kadar kefaktualan sesuatu yang diungkapkan di dalamnya,
tidaklah sederhana itu. Sebab, pada kenyataan
nya adanya unsur saling “intervensi” di antara keduanya sangat dimungkinkan
terjadi.
Tulisan dengan data faktual. Tulisan
yang dibuat berdasarkan kata dan atau informasi faktual. Dialog fakta dengan
fiksi. Permasalahan kini pada karya jenis fiksi, karya cerita rekaan. Masalah
ketegangan hubungan antara yang nyata dengan yang rekaan dalam karya sastra
sudah dipersoalkan oleh Aristoteles, yaitu dengan teori mimetic dan creationya.
Yang pertama menyarankan pada peniruan model kehidupan nyata, sedang yang kedua
pada penciptaan model kehidupan nyata, sedang yang kedua pada penciptaan model
kehidupan sesuai dengan kremampuan kreativitas pengarang. Antara peniruan dan
kreativitas, realitas dan rekaan, telah menyatu dalam sebuah karya dan tak
mungkin dipisahkan tanpa kehilangan hakikat dan makna karya itu sebagai suatu
karya sastra yang padu dan koherensif. Sebuah karya yang hanya mengemukakan hal
– hal yang benar – benar terjadi secara apa adanya akan ditolak untuk disebut
sebagai sebuah novel, melainkan sebuah laporang. Sebaliknya sebuah karya
(fiksi) yang secara mutlak berisi peristiwa – peristiwa imajinatif yang sama
sekali tak mencerminkan realitas kehidupan, ia akan sulit atau bahkan tak akan
dapat dipahami. Namun, haruslah disadari bahwa dalam karya fiksi adanya
kemiripan dengan kenyataan bukan merupakaan tujuan, melainkan hanya sarana
untuk menyampaikan sesuatu kepada pembaca yang lebih dari kenyataan itu sendiri
( Teeuw, 1984 :232). Luxemburg, dkk, (1984 : 20). Kreadibilitas sebuah novel
sebagai karya seni, tidak ditentukan oleh adanya kesesuaiannya dengan dunia
realitas, melainkan lebih ditentukan oleh koherensi unsure – unsur
intriksiknya. Kebenaran dalam sastra bukan menunjuk pada kebenaran sehari –
hari, melainkan lebih merupakan kebenaran situasional.
Penulisan sejarah terikat pada fakta
yang benar – benar ada dan terjadi, data fakta memiliki validitas empiris yang
dapat dipertanggungjawabkab. Secara teoretis, ia tak dapat dimanipulasikan
dalam pengertian menambah, menyembunyikan, mengkreasikan atau mengimajinasikan
sesuai dengan sikap subjektivitas penulisnya walau secara faktual hal itu
mungkin saja terjadi tergantung sikap penulis buku sejarah itu sendiri. Dengan
kebebasan yang dimilikinya itu, fiksi tidak saja mampu merekam sejarah dalam arti
bersifat dokumentasi – sosioligi namun juga mampu menciptakan sejarah dirinya
sendiri sehingga bersifat monumental inilah antara lain yang menandai
keberhasilan sebuah karya fiksi sebagai karya seni kesastraan.
Ada jenis karya tertentu yang tampaknya
sulit untuk dikategorikan kedalam fiksi atau nonfiksi yaitu karya yang bersifat
biografis. Penulis biografi itu tentunya menulis fakta yang pernah terjadi dan
dialami pelaku yang ditulis biografinya itu. Namun, mungkin sekali ia juga
menulis sesuatuyang dibayangkan, ditafsirkan, disikapi atau dinilai yang
sebenarnya lain dari yang sesungguhnya terjadi. Junus (1983 : 5) menunjukkan
adanya lima kemungkinan keterikatan, mulai yang paling langsung ke yang
sebaliknya. Semakin langsungpengaruh realitas misalnya novel yang bersifat
pantulan kenyataan, semakin rendah kadar imajinasinya. Sebaliknya, semakin
intens penghayatan pengarang terhadap realitas kehidupan sehingga ia hanya akan
berupa interpretasi terhadapnya semakin menjauhkan sifat keterikatan novel dari
realitas. Dan hal itu berarti semakin tinggi kadar imajinasinya. Kesadaran yang
tinggi terhadap penciptaan yang disertai dengan kekuatan imajinasi yang tinggi
pula akan menghjasilkan karya yang semakin jauh dari realitas.
BAB 5
PENAHAPAN PLOT
Plot biasanya
dalam suatu cerita langsung ditampilkan dengan adegan-adegan yang tergolong
menegangkan. Pembaca langsung dihadapkan pada peristiwa cerita yang berkadar
konflik dan dramatic tinggi yang barangkali, justru konflik yang amat
menentukan plot karya yang bersangkutan. Padahal pembaca belum lagi masuk
kedalam suasana cerita, belum tahu mula-mula terjadinya konflik. Secara
teoritis plot dapat diurutkan kedalam tahapan-tahapan tertentu secara
kronologis. Secara teoritis kronologis tahap-tahap pengembangan atau
kelengkapannya : struktur plot, dikemukakan sebagai berikut.
a. Tahapan Plot : Awal-Tengah_akhir
Plot sebuah cerita yang bersifat padu, antara
peristiwa yang satu dengan yang lain , antara peristiwa yang diceritakan lebih
dahulu dengan yang kemudian, ada hubungan, ada sifat yang saling berkaitan.
Untuk memperoleh keutuhan sebuah plot cerita, aristoteles mengemukakan bahwa
sebuah plot haruslah terdiri dari tahap awal, tahap tengah dan tahap akhir
(Abram,1981:18). Ketiga tahap tersebut penting untuk dikenali, terutama jika
kita bermaksud menelaah plot karya fiksi yang bersangkutan.
Tahap Awal.
Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut tahap perkenalan. Tahap awal biasanya
berisi sebuah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan
dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya.
Tahap Tengah.
Tahap tengah cerita yang dapat juga disebut dengan tahap pertikaian,
menampilkan pertentangan dan konflik yang sudah dimunculkan pada tahap
sebelumnya, menjadi semakin meningkat dan semakin menegangkan. Konflik yang
dikisahkan terjadi dalam diri tokoh konflik eksternal terhadap tokoh-tokoh
antagonis. Dalam tahap tengah inilah klimaks ditampilkan, yaitu ketika konflik
telah mencapai titik intensitas tertinggi.
Tahap Akhir.
Tahap akhir pada sebuah cerita dikatakan sebagai tahap peleraian, menampilkan
adegan tertentu sebgai akhir klimaks. Dalam bagian ini biasanya menampilkan
kesudahan cerita, atau biasanya menampilkan bagaimana akhir dari sebuah cerita.
Dalam teori klasik Aristoteles, penyelesaian cerita dibedakan kedalam dua macam
kemungkinan : kebahagiaan dan kesedihan.
b.
Tahapan Plot
Plot menurut Tasrif ( dalam Mohtar
Lubis, 1978 :10) dibedakan menjadi lima
tahapan. Diantaranya adalah sebagai berikut
1.
Tahapan Situation biasanya berisi pelukisan dan pengenalan situasi, latar, dan
tokoh.
2. Tahap
generating circumstances: tahap pemunculan konflik. Peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai
dimunculkan. Jadi tahap ini merupakan tahap awal pemunculan konflik, dan
konflik itu sendiri akan berkembang dan dikembangkan menjadi konflik-konflik
pada tahap beriutnya.
3. Tahap Rising Action : tahap peningkatan
konflik, konflikyang dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang kadar
intensitasnya. Peristiwa-peristiwa semakin mencengkam, dan tokoh mencapai ke klimaks
yang tak dapa dihindari
4. Tahap Climax : Tahap kilimaks, konflik yang
terjadi dan dilakui ditimpakan kepada para tokoh untuk mencapai intensitas
puncak.
5. Tahap Denoument : Tahap penyelesaian, konfik
yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan
c. Diagranm Struktur Plot
Tahapan
pemplotan biasanya digambarkan dengan bentuk diagram. Diagram yang dimaksud
biasanya didasarkan pad kejadian secara kronologis. Jadi diagram tersebut
menggambarkan plot jenis progresif-konvensional-teoritis.
5. PEMBEDAAN PLOT
Setiap plot merupakan kesatuan tindak yang
disebut dengan an artistic whole. Namun tidak akan pernah menemukan dua unsure
arya fiksi yang memiliki struktur plot yang sama persis. Plot dapat
dikategorikan kedalam beberapa jenis yang berbeda berdasarkan sudut tinjauan.
Diantaranya plot dibagi menjadi tiga criteria.
a. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria
Urutan Waktu
urutan waktu
adalah waktunya terjadi peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi yang
bersangkutan. Secara teoritis kita dapat membedakan plot kedalam dua kategori.
Plot Lurus, Progresif, dikatakan jika peristiwa yang dikisahkan bersifat
kronologis yang diikuti penyebab terjadinya peristiwa-peristiwa yang ada dalam
suatu cerita.
Plot sorot Balik, Flas-back. Urutan kejadian yang dikisahkan kedalam
karya fiksi yang berplot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak
dimulai dari tahap awal, melainkan mungkin dari tahap tengah bahkan tahap akhir
kemudian tahap awal cerita yang dikisahka.
b. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria
Jumlah
Dengan
kroteria jumlah dimaksudkan sebgai banyaknya cerita yang terdapat dalam sebuah
karya fiksi. Didalam karya fiksi ada dua criteria.
Plot Tunggal. Karya fiksi biasanya
hanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama
protagonist sebagai hero.
Plot Sub-subpot. Karya fiksi biasanya
memiliki lebi dari satu alur cerita yang dikisahkan dalam perjalanan hidup,
permasalahan, dan konflik yang dihadapinya.
c.
Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Kepadatan
Dengan
criteria pemadatan dimaksudkan tidak ada pengembangan dalam cerita pada sebuah
karya fiksi. Plot disini dibedakan menjadi dua yaitu plot padat dan plot
longgar.
Plot Padat. Biasanya cerita disampaikan
secara cepat, peristiwa fungsional terjadi secara susul-menyusul dengan cepat,
hubungannya terjalin secara erat, dan pembaca seolah-olah dipaksa untuk selalu
mengikutinya.
Plot longgar. Dalam novel yang berplot
longgar, pergantian peristiwa demi peristiwa berlangsung lambat disamping
hubungannya antar peristiwa tersebut tidaklah erat benar.
d. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Isi
Dengan
isi dimaksudkan sebagai sesuatu masalah dalam cerita dan juda pengungkapan
sebuah kejadian yang ada didalamnya. Friedman (dalam Stevick, 1967: 157-65)
membedakan plot jenis ini kedalam tiga golongan besar :
Plot Peruntungan. Plot peruntungan
hubungan dengan cerita yang mengungkapkan nasib, peruntungan, yang menimpa
tokoh utama cerita yang yang bersangkutan. Plot peruntungan dibedakan menjadi :
plot gerak, pot sedih, plot tragis,plot penghukuman, plot sentimental dan plot
kekaguman.
Plot Tokohan. Plot tokohan menyaran
pada adanya sifat pementingan tokoh, tokoh yang menjadi focus perhatian. Plot
pertokohan lebih menyoroti keadaan tokoh daripada kejadian yang berhubungan dengan
pemplotan.
Plot Pemikiran. Plot pemikiran
mengungkapkan kejadian yang menjadi bahan pemikiran, keinginan, perasaan,
berbagai macam obsesi, dan lain-lain yang menjadi masalah hidup dan kehidupan
manusia.
Akhirnya
perlu juga kita kemukakan bahwa pembagian diatas tidak popular, dalam arti
tidak banyak diikuti orang. Orang tampaknya lebih banyak mendiskripsikan plot
suatu karya kedalam kategori-kategori yang dibicarakan sebelumnya.
BAB 6
PENOKOHAN
1
UNSUR PENOKOHAN DALAM FIKSI
a.
Pengertian dan hakikat penokohan
Istilah
tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Watak, perwatakan dan karakter
menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca
lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi-karakterisasi
sering disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan menunjuk pada
penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah
cerita. Tokoh cerita (character), menurut Abrams (1981: 20), adalah orang-orang
yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan yang dilakukan dengan tindakan.
Istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan
perwatakan sebab is mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan
dan bagaimana penempatan dan pelukisan dalam sebuah cerita sehingga sanggup
memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh
dalam suatu cerita. Kewajaran Fiksi
adalah suatu karya kreatif, maka bagaimana pengarang mewujudkan dan
mengembangkan tokoh-tokoh ceritanya pun tidak lepas dari kebebasan
kreativitasnya. Walaupun tokoh cerita hanya merupakan tokoh ciptaan pengarang,
ia haruslah merupakan tokoh yang hidup secara wajar sesuai dengn kehidupan
manusia yang terdiri dari darah daging, yang mempunyai pikiran dan perasaan.
Tokoh cerita
menempati posisi yang strategis sebagai pembawa pesan,amanat, moral, atau
sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.
Kesepertihidupan.Masalah kewajaran tokoh cerita sering dikaitkan
dengan kenyataan kehidupan manusia sehari-hari. Seorang tokoh cerita dikatakan
wajar , relavan jika mencerminkan dan mempunyai kemiripan dengan kehidupan
manusia sesungguhnya (lifelike). Tokoh cerita hendaknya mempunyai sifat alami,
memiliki sifat (lifelikeness), paling tidak itulah harapan pembaca. Pengertian
lifelikeness itu sendiri merupakan suatu bentuk penyederhanaan yang berlebihan
(oversimplification). Tokoh cerita haruslah mempunyai dimensi yang lain
disamping kesepertihidupan. Kriteria kesepertihidupan itu sendiri tidak terlalu
menolong untuk memahami tokoh fiksi, bahkan ia dapat menyesatkan kea rah
pemahaman literer (Kenny, 1996:24-5).
Tokoh Rekaan versus Tokoh nyata. Tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan dalam
fiksi, sesuai dengan namanya, adalah tokoh rekaan, tokoh yang tidak akan pernah
ada di dunia nyata. Pengangkatan tokoh nyata, atau hanya berupa bentuk
personifikasinya, dapat mengesani pembaca seolah-olah peristiwa yang
diceritakan bukan peristiwa imajinatif, melainkan peristiwa factual.
b.
Penokohan dan Unsur Cerita yang Lain
Penokohan
dan Pemplotan. Plot merupakan sesuatu yang bersifat artificial. Penokohan
dan pemplotan merupakan dua fakta cerita yang saling mempengaruhi dan
menggantungkan satu dengan yang lain. Plot adalah apa yang dilakukan oleh tokoh
dan apa yang menimpanya. Adanya kejadian demi kejadian, ketegangan konflik, dan
sampai klimaks yang notabene kesemuanya merupakan hal yang esensial dalam plot
hanya mungkin terjadi jika ada pelakunya.
Penokohan dan Tema. Tema merupakan dasar cerita, gagasan sentral atau makna cerita. Dengan demikian dalam sebuah
fiksi tema bersifat mengikat dan menyatukan keseluruhan unsure fiksi tersebut.
Sebagai unsure utama fiksi, penokohan erat hubungannya dengan tema. Dalam
kebanyakan fiksi, tema umumnya tidak dinyatakan secara eksplisit. Hal
itu berarti pembacalah yang bertugas menafsirkannya.
c.
Relevansi Tokoh
Berhadapan dengan tokoh fiksi, pembaca sering memberikan
reaksi emotif tertentu seperti merasa akrap, simpati, empati, benci, antipati,
atau berbagai reaksi afektif lainnya. Ada beberapa bentuk relevansi seorang tokoh cerita seseorang tokoh cerita.
Seorang tokoh cerita, yang diciptakan pengarang itu,jika disukai banyak orang
dalam kehidupan nyata, apalagi sampai dipuja dan digandrungi, berarti merupakan
tokoh fiksi yang mempunyai relevansi (Kenny, 1966:27). Salah satu bentuk
kerelevansian tokoh sering dihubungkan dengan
kesepertihidupan, lifelikeness. Seorang tokoh cerita
dianggap relevan bagi pembaca, kita, dan atau relevan dengan pengalaman kehidupan kita, jika ia seperti kita, atau
orang lain yang kita ketahui.
2
PEMBEDAAN TOKOH
a.
Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Dilihat dari segi
peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang
tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga merasa mendominasi
sebagian besar cerita, dan sebaliknya, ada tokoh-tokoh yang hanya dimunculkan
sekali atau beberapa kali dalam cerita dan itupun mungkin dalam porsi
penceritaan yang relative pendek. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan
penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Tokoh utama paling banyak
diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat
menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Di pihak lain pemunculan tokoh
tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan
kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung
ataupun tak langsung.
b.
Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
Dilihat dari
fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh
antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, yang salah satu
jenisnya secara popular disebut hero tokoh yang merupakan pengejawantahan
norna-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita (Altenbernd & Lewis, 1966:
59). Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita,
harapan-harapan kita pembaca. Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang dibenci
pembaca.
c.
Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat
Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke
dalam tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau
tokoh bulat (complex atau round character). Tokoh sederhana. Tokoh sederhana
dalam bentuknya yang asli adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas
pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Tokoh sederhana dapat
saja melakukan berbagai tindakan, namun semua tindakannya itu akan dapat
dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki dan yang telah diformulakan itu.
Tokoh Bulat. Tokoh bulat, kompleks adalah tokoh yang memiliki dan diungkapkan
berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya.
Dengan demikian tokoh kompleks lebih sulit dipahami, terasa kurang familiar
karena yang ditampilkan adalah tokoh-tokoh yang kurang akrap dan kurang dikenal
sebelumnya.
d.
Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang
Berdasarkan criteria berkembang atau tidaknya perwatakan
tokoh cerita dalam sebuah novel, tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh statis,
tidak berkembang (static character) dan tokoh berkembang (developing
character). Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak
mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya
peristiwa-peristiwa yang terjadi (Altenbernd &Lewis, 1966: 58). Sedangkan
tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan
perwatakan sejalan dengan perkembangan dan perubahan peristiwa dan plot yang
dikisahkan.
e.
Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral
Berdasarkan
kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap sekelompok manusia dari kehidupan
nyata, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh tipikal (typical character)
dan tokoh netral (netral character). Tokoh tipical adalah tokoh yang hanya
sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan
kualitas pekerjaan atau kebangsaannya. Tokoh netral adalah tokoh cerita yang
bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar tokoh imajiner yang hanya hidup dan bereksistensi dalam
dunia fiksi.
3
TEKNIK PELUKISAN TOKOH
a.
Teknik Ekspositori
Teknik ini sering disebut sebagai teknik analitis,
pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskropsi, uraian, atau
penjelasan secara langsung. Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh pengarang
tidak berbelit-belit, melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi
kediriannya yang mungkin berupa sikap, watak, tingkah laku, atau bahkan juga
cirri fisiknya. Kelemahan teknik analitik antara lain adalah penuturannya yang
bersifat mekanis dan kurang alami. Artinya, dalam realitas kehidupan tidak akan
ditemui deskripsi kedirian seseorang yang sedemikian lengkap dan pasti.
b.
Teknik Dramatik
Teknik dramati adalah teknik penampilan tokoh
cerita, mirip dengan yang ditampilkan pada drama, dilakukan secara tidak langsung.
Artinya pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta
tingkah laku tokoh.ceritauntuk menunjukkan kemandiriannya sendiri melalui
berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun non
verbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang
terjadi. Kelebihan teknik dramatic adalah sifatnya yang lebih sesuai dengan
kehidupan nyata. Sedangkan kelemahannya adalah sifatnya yang tidak ekonomis.
Wujud Penggambaran Teknik Dramatik. Penampilan tokoh secara dramatic
dapat dilakukan dengan beberapa teknik,
1)
Teknik Cakapan
Percakapan yang
dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan
sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Tidak semua percakapan, memang
mencerminkan kemandirian tokoh, atau paling tidak, tidak mudah untuk
menafsirkan sebagai demikian. Namun percakapan yang baik,efektif, yang lebih
fungsional, adalah yang menunjukkan perkembangan plot dan sekaligus
mencerminkan sifat kemandirian tokoh pelakunya.
2)
Teknik Tingkah Laku
Teknik ini
dimaksudkan untuk menunjuk tingkah laku verbal yang berwujud kata-kata para
tokoh, teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat non verbal,
fisik.
3)
Teknik Pikiran dan Perasaan
Bagaimana keadaan
dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas di dalam pikiran dan
perasaan, serta apa yang (sering) dipikir dan dirasakan oleh tokoh, dalam
banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya jua.
4)
Teknik Arus Kesadaran
Teknik arus kesadaran (stream of consciousness)
berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan. Keduanya tidak dapat
dibedakan secara pilah bahkan mungkin dianggap sama-sama menggambarkan tingkah
laku batin tokoh. Arus kesadaran merupakan sebuah teknik narasi yang berusaha
menangkap pandangan dan aliran proses mental tokoh, di mana tanggapan indera
bercampur dengan kasadaran dan ketaksadaran pikiran, perasaan, ingatan,
harapan, dan asosiasi-asosiasi acak.
5)
Teknik Reaksi Tokoh
Teknik reksi tokoh
dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan,
kata, dan sikap tingkahlaku orang lain dan sebagainya yang berupa rangsang dari
luar tokoh yang bersangkutan.
6)
Teknik Reaksi Tokoh Lain
Reaksi tokoh lain
dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama,
atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa pandangan, pendapat, sikap,
komentar dan lain-lain.
7)
Teknik Penulisan latar
Pelukisan suasana
latar dapat lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh seperti yang telah
diungkapkan dengan berbagai teknik yang lain.
8)
Teknik Pelukisan Fisik
Keadaan fisik
seseorang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya, atau paling tidak,
pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan adanya keterkaitan itu.
c.
Catatan Tentang Identifikasi Tokoh
Usaha pengidentifikasian tokoh melalui beberapa prinsip antara lain:
1)
Prinsip Pengulangan
Prinsip pengulangan ini digunakan
untuk menekankan dan mengintensifkan sifat sifat yang menonjol sehingga pembaca
dapat memahami dengan jelas.
2)
Prinsip Pengumpulan
Seluruh kedirian
tokoh diungkapkan sedikit demi sedikit dalam seluruh cerita. Usaha
pengidentifikasian tokoh, dengan demikian, dapat dilakukan dengan mengumpulkan
data-data kedirian yang tercecer diseluruh cerita tersebut, sehingga akhirnya
diperoleh data yang lengkap.
3)
Prinsip Kemiripan dan Pertentangan
Identifikasi tokoh
yang mempergunakan prinsip kemiripan dan pertentangan dilakukan dengan
memperbandingkan antara seorang tokoh dengan tokoh lain dari cerita fiksi yang
bersangkutan.
BAB 7
PELATARAN
1. LATAR SEBAGAI UNSUR FIKSI
a. Pengertian dan Hakekat Latar
Latar atau seting yang disebut juga sebagai landas
tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial
tempat terjadinya peristiwa – peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981:175). Stanton (1965)
mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita)
sebab ketiga hal inilah yang secara konkret dan langsung membentuk cerita:
tokoh cerita adalah pelaku dan penderita kejadian –kejadian yang bersebab
akibat, dan itu perlu pijakan, di mana dan kapan.
·
Latar
Fisik dan Spiritual
Latar tempat, terhubung secara jelas menyaran pada
lokasi tertentu, dapat disebut sebagai latar fisik (Physical Setting). Latar yang berhubungan dengan waktu, walau orang
mungkin berkeberatan, tampaknya juga dapat dikategorikan sebagai latar fisik
sebab ia juga dapat menyaran pada saat tertentu secara jelas.
Latar dalam karya fisik tidak terbatas pada
penempatan lokasi – lokasi tertentu, atau sesuatu yang bersifat fisik saja,
melainkan juga yang berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai –
nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan. Hal – hal yang disebut terakhir
inilah yang disebut sebagai latar spiritual (Spiritual Setting). Jadi, latar Spiritual adalah nilai – nilai yang
melingkupi dan dimiliki oleh latar fisik (Kenny, 1966: 39). Latar Spiritual
dalam fiksi, khususnya karya – karya fiksi Indonesia yang ditulis belakangan,
[ada umumya hadir dan dihadirkan bersama dengan latar fisik. Hal ini akan
memperkuat kehadiran, kejelasan, dan kekhususan latar fisik yang bersangkutan
latar tempat tertentu, Jawa misalnya, dapat dibedakan dengan tempat – tempat
yang lain.
·
Latar
Netral dan Latar Tipikal
Latar sebuah karya yang hanya bersifat demikian
disebut sebagai latar netral (neutral setting). Latar netral tak memilikidan
tak mendeskripsikan sifat khas tertentu yang menonjol yang terdapat dalam
sebuah latar , sesuatu yang justru dapat membedakannya dengan latar – latar
lain. Sifat yang ditunjukkan latar tersebut lebih merupakan sifat umum terhadap
hal yang sejenis, misalnya desa, kota, hutan, pasar, sehingga sebenarnya hal
itu dapat berlaku dimana saja.
Latar tipikal dipihak
lain, memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu, baik yang menyangkut
unsur tempat, waktu maupun sosial. Latar tipikal biasanya digarap secara teliti
dan hati – hati oleh pengarang, yang antar lain dimaksudkan untuk mengesani
pembaca agar karya itu tampak realistis, terlihat sungguh – sungguh diangkat
dari latar faktual. Latar tipikal secara langsung ataupun tak langsung akan
berpengaruh terhadap pengaluran dan penokohan. Eksistensinya dalam sebuah karya
fiksi tak mungkin digantikan dengan latar lain tanpa mempengaruhi perkembangan
dan logika cerita.
Kehadiran latar tipikal dalam sebuah karya fiksi,
dibanding dengan latar netral, lebih meyakinkan, memberikan kesan secara
lebih mendalam kepada pembaca. Pembedaan
antara latar netral dengan latar tipikal tidaklah bersifat pilah. Ia juga lebih merupakan sesuatu yang
bersifat gradasi, walau tak dapat dipungkiri bahwa ada karya fiksi tertentu
yang benar – benar berlatar netral, atau sebaiknya berlatar tipikal.
·
Penekanan
Unsur Latar
Pembedaan antara latar dengan tipikal sebenarnya
juga berarti mempersoalkan penekanan masalah latar. Latar netral menyaran pada
kurangnya penekanan unsur latar, sebaliknya latar tipikal pada adanya penekanan
unsur latar.
Unsur latar yang ditekankan perannya dalam sebuah
novel, langsung ataupun tak langsung, akan berpengaruh terhadap elemen fiksi
yang lain, khususnya alur dan tokoh.
Peran latar yang menonjol, atau penekanan unsure
latar, dalam sebuah novel, sebagaimana halnya dengan unsur ketipikalannya,
mungkin mencakup semua unsur, mungkin hanya satu – dua unsur saja. Namun, perlu juga ditambahkan, bahwa kadar
penekanan latar, walau sama – sama mendapat penekanan, tentu saja ada
perbedaan.
b.
Latar dan Unsur Fiksi yang lain
Antara latar dengan penokohan mempunyai hubungan
yang erat dan bersifat timbal balik. Sifat – sifat latar, dalam banyak hal,
akan mempengaruhi sifat – sifat tokoh.
Masalah status sosial juga berpengaruh dalam
penoohan. Pengangkatan tokoh dari kelas sosial rendah tentu saja menuntut
perbedaan dengan tokoh dari kelas sosial tinggi.
Penokohan dan pengaluran memang tak hanya
ditentukan oleh latar, namun setidaknya peranan latar harus diperhitungkan.
Jika terjadi ketidakseimbangan antara latar dengan penokohan, cerita menjadi
kurang wajar, kurang meyakinkan. Jika ternyata terjadi tidak adanya kesesuaian,
cerita menjadi tidak masuk akal, dan terjadilah apa yang disebut anakronisme.
2. UNSUR LATAR
a. Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang
dipergunakan mungkin berupa tempat – tempat dengan nama tertentu, inisial
tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat – tempat yang
bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata.
Penggunaan latar tempat dengan nama – nama
tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat
dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan.
Untuk dapat mendeskripsikan suatu tempat secara
meyakinkan pengarang perlu menguasai medan. Pengarang haruslah menguasai
situasi geografis lokasi yang bersangkutan lengkap dengan karakteristik dan
sifat khasnya.
Pengangkatan suasana kedaerahan, sesuatu yang
mencerminkan unsur local color, akan
menyebabkan latar tempat menjadi unsure yang dominan dalam karya yang
bersangkutan.
b. Latar Waktu
Latar waktu
berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa – peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya
dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan
dengan peristiwa sejarah.
Pengangkatan unsur
sejarah ke dalam karya fiksi akan menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi
bersifat khas, tipikal, dan dapat menjadi sangat fngsional, sehingga tak dapat
diganti dengan waktu yang lain tanpa mempengaruhi perkembangan cerita. Latar waktu menjadi amat koheren dengan
unsur cerita yang lain. Ketipikalan unsur waktu dapat menyebabkan unsur tempat
menjadi kurang penting, khususnya waktu sejarah yang berskala nasional.
c. Latar Sosial
Latar sosial
menyaran pada hal – hal yang berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat di
suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial
masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia
dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan
hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain – lain yang tergolong latar
spiritual.seperti dikemukakan sebelumnya.
Bahasa daerah, Penanaman, dan Status. Latar sosial memang dapat secara meyakinkan
menggambarkan suasana kedaerahan, local
color, warna setempat daerah tertentu melalui kehidupan sosial masyarakat.
Di samping berupa hal – hal yang telah dikemukakan, ia dapat pula berupa dan
diperluat dengan penggunaan bahasa daerah atau dialek – dialek tertentu.
d. Catatan Tentang Anakronisme
Anakronisme menyaran pada pengertian adanya
ketidaksesuaian dengan urutan (perkembangan) waktu dalam sebuah cerita. Waktu
yang dimaksud adalah waktu yang berlaku dan ditunjuk dalam cerita, waktu
cerita, dengan waktu yang menjadi acuannya yang berupa waktu dalam realitas
sejarah, waktu sejarah.
Ketidaksesuaian antara waktu cerita dengan waktu
sejarah biasanya berupa penggunaan dua waktu yang berbeda masa berlakunya dalam
satu waktu pada sebuah karya fiksi. Penyebab anakronisme mungkin berupa
masuknya “waktu” lampau ke dalam cerita yang berlatar waktu kini, atau
sebaliknya masuknya waktu “kini” ke dalam cerita yang berlatar waktu lampau.
Unsur “waktu” yang dimaksud dapat berupa apa pun, misalnya situasi dan keadaan
pada suatu tempat, budaya, benda – benda tertentu, nama, bahkan juga bahasa,
yang hanya dimiliki (atau telah dimiliki) oleh waktu tertentu, bukan dalam
waktu yang lain.
Anakronisme dapat juga menyaran pada sesuatu yang
tak logis, misalnya berupa seseorang yang semestinya tak memiliki benda atau
kesanggupan tertentu, namun dalam karya itu disebutkan memilikinya.
Fakronisme Kesengajaan. dalam karya sastra tidak selamanya merupakan dan atau kekurangn pengarang.
Ia hadir dalam sebuah karya karena disengaja dan bahkan didayagunakan
kemafaatannya. Anakronisme sengaja dimunculkan untuk menjembatani imajinasi
antar pembaca, pendengar, Audience,
dengan cerita yang bersangkutan. Ia dipergunakan untuk memudahkan pemahaman Audience terhadap suatu karya dengan
menghadirkan sesuatu yang sudah kenal dan diakrabi pada masanya sesuatu yang
sebenarnya justru bersifat anakronistis.
3. HAL LAIN TENTANG LATAR
a. Latar Sebagai Metaforik
Secara prinsip metafora
merupakan cara memandang (menerima) ssuatu melalui sesuatu yang lain. Fungsi
pertama metafora adalah menyampaiakan pengertian, pemahaman (Lakoff &
Johnson, 1980: 36). Metafora erat berkaiatan dengan pengalamankehidupan manusia
baik bersifat fisik maupun budaya (Lakoff & Johnson, 1980: 18), dan tentu
saja antara budaya bangsa yang satu dengan bangsa yang lain tak sama, sehingga
bentuk – bentuk ungkapan akan berbeda walau untuk mengekspresikan hal – hal
yang hamper sama sekalipun.
b. Latar sebagai atmosfer
Atmosfer dalam
cerita merupakan “udara yang dihirup pembaca sewaktu memasuki dunia rekanan”.
Ia berupa deskripsi kondisi latar yang mampu menciptakan suasana tertentu,
misalnya suasana ceria, romantic, sedih, muram, maut, misteri, dan sebagainya.
Suasana tertentu yang tercipta itu sendiri tak dideskripsikan secara langsung,
eksplisit, melainkan merupakan sesuatu yang tersarankan.
Akhirnya perlu
dikemukakan bahwa atmosfer cerita adalah emosi yang dominan yang merasukinya,
yang berfungsi mendukung elemen – elemen cerita yang lain untuk memperoleh efek
yang mempersatukan (Alterberd & Lewis, 1966: 72)
BAB
8
SUDUT PANDANG SEBAGAI UNSUR FIKSI
Hakikat Sudut Pandang
Sudut pandang, pointof view, merupakan pandangan yang
dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar,
dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada
pembaca (Abrams, 181: 142). Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya
merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja diplih pengarang utuk
mengemukakan gagasan dan ceritanya. Genette (1981 : 89) menawarkan istilah
fokalisasi, focalisaion, yang lebih
dekat berhubungan dengan pengisahan. Istilah fokalisasi tersebut oleh Gennte
dimaksudkan untuk merangkum sekaligus menghindari adanya konotasi-konotasi
spesifik istilah-istilah visi, vission, (seperti
dipergunakan Pouillon dan Todorov), field,
(Blin), dan sudut pandang, point of view
(Lubbock). Visi atau aspek itu sendiri oleh Pouillon dan Todorov dibedakan ke
dalam tiga kategori : vision from behind,
vission with, dan vission from
whitout, yang masing-masing menyaran pada pengertian narator lebih tahu
dari pada tokoh, narator sama tahunya dengan tokoh, dan narator kurang tahu
dibanding tokoh. Sudut pandang (Lubbock) dan ”field” (Blin) sama artinya dengan vission whit. Fokalisasi itu sendiri menyaran pada pengertian
adanya hubungan antara unsur-unsur peristiwa dengan visi yang disajikan kepada
pembaca (Luxemburg dkk, 1992:131)
Sudut pandang cerita itu sendiri secara garis
besar dapat dibedakan ke dalam dua macam : persona pertama, first-person, gaya “aku”, dan persona
ketiga, third-person, gaya ”dia”.
Jadi, dari sudut pandang ”aku” atau ”dia”, dengan berbagai variasinya, sebuah
cerita dikisahkan. Sudut pandang dianggap sebagai salah satu unsur fiksi yang
penting dan menentukan. Teknik penyajian sudut pandang tertentu akan lebih
efektif jika diikuti oleh pemilihan bentuk gramatika dan retorika yang sesuai.
Sudut pandang, kata Lubbock (Friedman, dalam Stevick, 1967 : 86). sudut pandang
tak hanya dianggap cara pembatasan dramatik saja, melainkan secara lebih khusus
sebagai penyajian definisi tematik. Ia dapat berupa ide, gagasan, nilai-nilai,
sikap dan pandangan hidup, kritik,
pelukisan, penjelasan, dan penginformasian, namun juga demi kebagusan cerita,
yang kesemuanya dipertimbangkan dapat mencapai tujuan artistik.
Sudut Pandang sebagai Penonjolan
Penyimpangan sudut pandang bukan hanya menyangkut
masalah persona pertama atau ketiga, melainkan lebih berupa pemilihan siapa
tokoh ”dia” atau ”aku” itu, siapa yang menceritakan itu, anak-anak, dewasa,
orang desa yang tak tahu apa-apa, orang modern, politikus, pelajar, atau yang
lain. Demikianlah misalnya, untuk melukiskan dan mengemukakan pandangan hidup
dan jagad kehidupan masyarakatJawa, dalam Pengakuan
Pariyem, Linus Suryadi justru memilihnya dari sudut pandang seorang babu,
bukan tokoh ”atasan”.
Macam-macam Sudut Pandang
Friedman (dalam stevick, 1967 : 118) mengemukakan
adanya sejumlah pemertanyaan yang jawabnya dipergunakan untuk membedakan sudut
pandang. Pemertanyaan yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1.
Siapa
yang berbicara kepada pembaca
2.
dari
posisi mana cerita itu dikisahkan
3.
Saluran
informasi apa yang digunaka operator untuk menyampaikan ceritanya kepada pembaca.
4.
Sejauh
mana narator menempatkan pembaca dari ceritanya
Sudut Pandang Persona Ketiga : ”Dia”
Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang
persona ketiga, gaya ”dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita
yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantiya;
ia, dia, mereka.
Sudut pandang ”dia” dapat dibedakan ke dalam dua
golongan berdasarkan tingkat kebebasan
dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya. Di satu pihak
pengarang, narator, dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan tokoh dia” tadi bersifat mahatahu.
1)
”Dia” Mahatahu
Dia melihat segala betapa Maria sekuat tenaga
menjaga dirinya jangan menangis trisak-isak kareena ada ibunya, dan karena
ibunya telah mengatakan padanya, bahwa semua ini akan terjadi, dan Maria
mengatakan pada ibunya dia akan kuat menahannya.
Apa yang dilakukan Maria kini? Tanya Sadeli pada dirinya sendiri. Dan
sadeli tak tahu, bahwa saat itu Maria sedang terbaring di bantalnya, air mata
mengalir membasahi pipinya, membasahi bantalnya, dan dia mencoba menghidupkan
kemabli dalam ingatannya, dalam seluruh badannya apa yang pernah terjadi di
tempat tidur dia dengan Sadeli.
(Maut dan Cinta, 1977: 254-6)
Kita melihat dalam teknik mahatahu tersebut
bahwa narator mampu menceritakan sesuatu baik yang bersifat fisik, dapat
diindera, maupun sesuatu yang hanya terjadi dalam hati da pikiran tokoh, bahkan
lebih dari seorang tokoh. Lebih dari itu, ia tak hanya mampu melapor dan
menceritakan kisah tentang tokoh-tokoh saja, melainkan juga dapat mengomentari
dan menilai secara bebas dengan penuh otoritas, seolah-olah tak ada satu
rahasia pun tentang tokoh yang tidak diketahuinya. Ia dapat memasukkan berbagai
informasi tanpa haris menerangkan cara memperolehnya. Ia dapat bergerak ke
seluruh “arena” untuk memberikan kepada pembaca detil-deil cerita secara
lengkap seperti tak ubahnya gambar tiga dimensi (Altenberd & Lewis: 1966:
62)
2)
“Dia” Terbatas, “Dia” sebagai
Pengamat
Dalam sudut pandang “dia” terbatas, seperti
halnya dalam “dia” mahatahu, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar,
dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada
seorang tokoh saja (Stanton, 1965: 26).
Dalam teknik “dia” terbatas sering juga
dipergunakan teknik narasi aliran kesadaran, stream of consciousness, yang menyajikan kepada pembaca
pengamatan-pengamatan luar yang berpengaruh terhadap pikiran, ingatan, dan
perasaan yang membentuk kesadaran total pengamatan. Sudut pandang cerita,dengan
demikian, menjadi bersifat objektif, objektive
point of view, atau narasi objektif, objektivenarration.
Pengarang tidak mengganggu” dengan
memberikan komentar dan penilaian yang bersifat subjektiveterhadap peristiwa,
tindakan, ataupun tokoh-tokoh yang diceritakanny. Ia hanya berlaku sebagai
pengamat, obsever, melaporkan sesuatu
yang dialami dan dijalani oleh seorang tokoh yang sebagai pusat kesadaran. Ia
sama halnya dengan pembaca, adalah seorang yeng berdiri diluar cerita.
Novel Indonesia yang secara mutlak bersudut
pandang “dia” terbatas dan atau sebagai pengamat saja, barangkali amat jarang
untuk tak dikatakan tidak ada. Namun, dalam bagian-bagian tertentu, sering
dijumpai adanya deskripsi dan cerita yang lebih merupakan “laporan” pengamat.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk pun tampak
diawali, pada bagian pertama, dengan sudut pandang “dia” sebagai pengamat,
walau pada bagian-bagian (dan serial) berikutnya bersifat campuran antara “dia”
dan “aku”
Di tepi kampung, tiga orang anak laki-laki
sedang bersusah payah mencabut sebatang singking. Namun ketiganya masih
terlampau lemah untuk mengalahkan cengeraman akar ketela yang terpendam dalam
tanah kapur. Kering dan membatu. Mereka terengah-engah, namun batang singkong
itu tetap tegak ditengahnya. Ketiganya hampir berputus asa seandainya salah
seorang anak di antara mereka tidak menemukan akal.
“Cari sebatang cungkil”, kata rasus kepada dua
temannya. ”Tanpa cungkil mustahil kita dapat mencabut singkong sialan ini.”
(Ronggeng Dukuh Paruk, 1986: 7-8)
Sudut Pandang Persona Pertama : “Aku”
Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut
pandang persona pertama, first-person
point of view,”aku”’ jadi : gaya ”aku”, narator adalah seseorang ikut
terlibatdalam cerita . ia adalah si ”aku”tokoh yang berkisah, mengisahkan
kesadaran dirinya sendiiri, self-consciousness,
mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar,dialami,
dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca.
Sudut pandang persona pertama dapat dibedakan ke
dalam dua golongan berdasarkan peran dan kedudukan si ”aku” dalam cerita. Si
”aku” mungkin menduduki peran utama, jadi tokoh utama protagonis, mungkin hanya
menduduki peran tambahan, jadi tokoh tambahan protagonis, atau berlaku sebagai
saksi.
1)
”Aku” Tokoh Utama
Si ”aku” yang menjadi tokoh utama cerita praktis
menjadi tokoh protagonis. Hal itu amat memungkinka pembaca menjadi merasa
benar-benar terlibat. Pembaca akan mengidentifikasikan diri terhadap tokoh
”aku”, dan karenanya akan memberikan empati secara penuh. Kita, walau hanya
imajinatif, akan ikut mengalami dan merasakan semua petualangan dan pengalaman
si ”aku”. Pegangan moral si ”aku” adalah ideal bagi kita. Efek terhadap pembaca
yang demikian, memang, dapat juga dicapai dengan sudut pandang lain, namun ia
tidak akan sedemikian meyakinkan seperti yang dilakukan oleh si ”aku”
protagonis (Altenbernd & Lewis, 1966: 63-4).
2)
”Aku” Tokoh Tambahan
Tokoh ceritayang dibiarkan berkisah sendiri itulah
yang kemudian menjadi tokoh utama, sebab dialah yang lebih banyaktampil,
membawakan berbagai peristiwa, tindakan, dan berhubungan dengan tokoh-tokoh
lain. Setelah cerita tokoh utama habis, si ”aku” tambahan tampil kembali, dan
dialah kini yang berkisah.
Sudut Pandang Campuran
Penggunaan sudut pandang yang bersifat campuran
itu di dalam sebuah novel, mungkin berupa penggunaan sudut pandang persona
ketiga dengan teknik ”dia” mahatahu dan ”dia” sebagai pengamat, persona pertama
dengan teknik ”aku” sebagai tokoh utama dan ”aku” tambahan atau sebagai saksi,
bahkan dapat berupa campuran abtara persona pertama dan ketiga, antara ”aku”
dan ”dia” sekaligus.
Campuran
”aku” dan ”dia”. Dewasa ini dapat kita jumpai beberapa novel Indonesia
yang mempergunakan dua sudut pandang ”aku” dan ”dia” secara bergantian.
Mula-mula cerita dikisahkan dari sudut
“aku”, namun kemudian terjadi pergantian ke “dia”, dan kembali lagi ke “aku”.
Hal ini misalnya, kita jumpai pada Burung-burung
Manyar, Dan Senja pun Turun, dan Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini
hari, dan Jantera Bianglala jika ketiganya dianggap sebagai satu kesatuan.
Teknik “Kau”. Penggunaan teknik “kau” untuk
menyebut dan melihat dirinya sendiri, baik oleh tokoh yang disudutpandangi
“aku” maupun “dia”, seperti sedikit terlihat dalam Burung-burung Manyar di atas, ternyata belakangan dipergunakan
secara lebih intensif dalam novel Suami-nya
Eddy Suhendro yang mula-mula muncul secara bersambung di Kompas pada awal 1989.
Ternyata untuk jenis sastra fiksi, teknik
penyudut pandangan tersebut terasa memberikan efek kebaruan, angin segar yang
tak membosankan bagi pencerrapan indera kita –suatu bentuk pengucapan yang oleh
kaum formalis disebut sebagai sifat deotomatisasi sastra. Namun, apakah dengan
demikian hal itu dapat dipandang sebagai adanya (baca: mulai munculnya) jenis
sudut pandang bergaya “kau”?. Hal itu disebabkan di samping contoh karya-karya
konkret yang “bersudut pandang kau” masih jarang ditemui, juga pada hakikatnya
teknik “kau” tersebut hanya merupakan variasi teknik “aku” atau “dia” untuk mengungangap atau mengemukakan sesuatu
secara lain. Si “kau” tak lain adalah si “aku” atau si “dia” yang sengaja
dibuat “mahatahu” secara dramatik, artinya dalam bentuk dialog seperti halnya
dalam drama. Namun, bagaimanapun, hal itu merupakan sbuah fenomena menarik
dalam perkembangan teori sudut pandang karya fiksi.
BAB 9
BAHASA
A. Bahasa Sebagai Unsur Fiksi
Bahasa adalah seni
sastra yang dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan
unsure bahan, alat, sara, yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang
mengandung “nilai lebih” daripada sekedar bahannya itu sendiri. Bahasa
merupakan sarana pengungkapan sastra. Sastra, khususnya fiksi, di samping
sering disebut dunia dalam kemungkinan, juga dikatakan sebagai dunia dalam
kata.
1.
Bahasa Sastra: Sebuah Fenomena
Pada umumnya orang
beranggapan bahwa bahasa satra berbeda dengan bahasa nonsatra, bahasa yang
dipergunakan bukan dalam pengucapan sastra. Namun, “perbedaan”-nya itu sendiri
tidaklah bersifat mutlak, atau bahkan sulit diidentifikasikan. Bahasa sastra,
bagaimanapun, perlu diakui eksistensinya, keberadaannya. Sebab, tidak dapat
disangkal lagi, ia menawarkan sebuah fenomena yang lain. Keberadaannya paling
tidak perlu disejajarkan dengan ragam-ragam bahasa, seperti dalam konteks
sosiolinguistik yang lain (Nurgiyantoro, 1993: 2) pengarang melakukan
penyimpangan kebahasaan, tentunya bukan semata-mata bertujuan ingin aneh, lain daripada
yang lain, melainkan dimaksudkan untuk memperoleh efek keindahan yang lain di
samping juga ingin mengedepankan, mengaktualkan (foreground) sesuatu yang dituturkan. Penuturan kesastraan pun pada
hakikatnya dapat dipandang sebagai proses (usaha) komunikasi.
2.
Stile dan Stilistika
a.
Stile dan Hakikat Stile
Stile (style,gaya bahasa) adalah cara pengucapan bahasa
dalam proses, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan
dikemukakan (Abrams, 1981: 190-1). Stile ditandai oleh ciri-ciri formal
kebahasaan seperti pilihan kata, strutur kalimat, bentuk-bentuk bahasa
figurative, penggunaan kohesi dan lain-lain. Masalah struktur lahir merupakan
pernyataan lahiriah dari sesuatu yang bersifat batiniah.
Jika itu
dikaitkan dengan teori kebahasaan-nya Saussure, yang membedakan antara langue dengan parole, stile merupakan suatu bentuk parole. Langue merupakan
system kaidah yang berlaku dalam suatu bahasa, sedangkan parole merupakan penggunaan dan perwujudan system, seleksi terhadap
system, yang dipergunakan oleh penutur (pengarang) sesuai dengan konteks dan
atau situasi. Parole adalah bentuk
performansi kebahasaan yang telah melewati proses seleksi dari keseluruhan
bentuk kebahasaan. Untuk melakukan pilihan terhadap suatu bentuk performansi
kebahasaan, pengarang, tentu saja, memiliki kompetensi terhadap bahasa yang
bersangkutan, dan itulah langue. Langue dan parole-nya Saussure berkesesuaian
dengan struktur batin (deep structure)
dan struktur lahir (surface structure)-nya
Chomsky, yang dapat pula identik dengan pembedaan antara unsure isi dan bentuk
dalam stile.
b.
Stilistika dan Hakikat Stilistika
Stilistika
(stylistics) menyaran pada pengertian studi tentang stile (Lecch & Short,
1981: 13), kajian tehadap wujud performansi kebahasaan, khususnya yang terdapat
di dalam karya sastra. Stilistika
kesastraan, dengan demikian, merupakan sebuah metode analisis karya sastra
(Abrams, 1981: 192). Ia dimaksudkan untuk menggantikan kritik yang bersifat
subjektif dan impresif dengan analisis stile teks kesastraan yang lebih
bersifat objektif dan ilmiah. Tanda-tanda stilistika dapat berupa: fonologi,
sintaksis, leksikal, penggunaan bahasa figurative.
Kajian stilistika juga dimaksudkan untuk
menunjukkan hubungan antara apresiasi estetis di satu pihak dengan deskripsi
linguistic di pihak lain. Kelompok yang berpandangan bahwa stile
merupakan cara menulis, cara
berekspresi, dan membedakannya dengan unsur isi disebut aliran dualis.
Sebaliknay, kelompok yang tidak membedakan unsure bentuk dan isi serta
memandang keduanya sebagai satu kesatuan, misalnya seperti dikatakan Flaubert
bahwa stile itu sebagai tak berbeda halnya dengan tubuh dan jiwa: bentuk dan
isi adalah satu disebut aliran monisme (Lecch & Short, 1981: 15).
Pendekatan pluralisme mendasarkan diri pada fungsi-fungsi bahasa.
Analisis stilistika menuntut penggunaan metode
kuantitatif, khususnya untuk mengurangi kadar subjektivitas kritikus. Untuk
mengetahui pembeda stile sebuah teks dari teks-teks yang lain haruslah
menghitung frekuensi pemunculan tanda-tanda linguistic yang terdapat di
dalamnya. Analisis kuantitatif dapat memberikan bukti-bukti konkret, maka ia
dapat menopang deskripsi stilistika yang dilakukan terhadap sebuah karya secara
lebih dapat dipertanggungjawabkan.
3.
Stile dan Nada
Nada pengarang adalah
sebagai pendirian atau sikap yang diambil pengarang terhadap pembaca dan
terhadap masalah yang dikemukakan (Leech & Short, 1981: 280). Kenny
mengemukakan bahwa stile adalah sarana, sedangkan nada adalah tujuan dan
konstribusi dari stile adalah untuk membangkitkan nada.
B.
Unsur Stile
Abrams (1981: 193)
mengemukakan bahwa unsure stile, ia menyebutnya dengan istilah stylistics
features yang terdiri dari unsure fonologi, sintaksis, leksikal, retorika
(berupa katrakteristik penggunaan bahasa figuratif, pencitraan, dan sebagainya).
Analisis unsur stile, misalnya dilakukan dengan mengidentifikasi masing-masing
unsure dengan tanpa mengabaikan konteks, menghitung frekuensi kemunculannya,
menjumlahkan, dan kemudian menafsirkan dan mendeskripsikankontribusinya bagi
stile karya fiksi secara keseluruhan.
1.
Unsur Leksikal
Unsur leksikal
yang dimaksud sama pengertiannya dengan diksi, yaitu mengacu pada pengertian
penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang. Mengingat
dari segi makna, ayitu apakah diksi mampu mengkomunikasikan makna, pesan, dan
mampu mengungkapkan gagasan seperti dimaksudkan oleh pengarang.
2.
Unsur Gramatikal
Unsur gramatikal yang dimaksud menyaran pada
pengertian struktur kalimat. Dalam kegiatan komunikasi bahasa, juga jika
dilihat dari kepentingan stile, kalimat lebih penting dan bermakna daripada
sekedar kata walaukegayaan kalimat dalam banyak hal juga banyak dipengaruhi
oleh pilihan katanya. Sebuah gagasan, pesan dapat diungkapkan ke dalam berbagai
bentuk kalimat yang berbeda-beda struktur dan kosa katanya. Penggunaan bentuk
struktur kalimat tertentu apakah mempunayai efek tertentu bagi karya yang
bersangkutan, baik efek yang bersifat estetis maupun dalam hal pemyampaian
pesan. Apakah struktur kalimat itu lebih memperjelas makna yang ingin disampaikan,
adakah penekanan terhadap makna tertentu, dan sebagainya.
3.
Retorika
Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk
memperoleh efek estetis. Ia dapat diperoleh melalui kreativitas pengungkapan
bahasa, yaitu bagaimana pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana untuk
mengungkapkan gagasannya. Pengungkapan bahasa dalam sastra mencerminkan sikap
dan perasaan pengarang, namun sekaligus dimaksudkan untuk mempengaruhi sikap
dan perasaan pembaca yang tercermin dalam nada. Pembacaan unsure retorika
berikut akan meliputi bentuk-bentuk yang berupa pemajasan, penyiasatan
struktur, dan pencitraan, dengan memasukkan contoh-contoh antara lain Keraf.
a.
Pemajasan
Pemajasan (figure of thought) merupakan teknik
pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang ,maknanya tidaka menunjuk pada
makna harfiah kta-kata yag mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan,
makna yang tersirat. Bentuk-bentuk pemajasan yang sering digunakan pengarang
adalah bentuik perbandingan, yaitu membandingkan sesuatu dengan yang lain
melalui cirri-ciri kesamaan antara keduanya, misalnya berupa cirri fisik,
sifat, sikap, keadaan, suasana, tingkah laku, dan sebagainya. Bentuk-bentuk perbandingan tersebut dapat dilihat
dari sikap kelangsungan pembandingan persamaannya dapat dibedakan ke dalam bentuk
simile, metafora, dan personifikasi.
b.
Penyiasatan Struktur
Ada bermacam gaya bahasa yang terlahir dari
penyiasatan struktur kalimat. Salah satu gaya yang banyak dipergunakan orang
adalah yang berangkat dari bentuk pengulangan, baik yang berupa pengulangan
kata, bentukan kata, frase, kalimat, maupun bentuk-bentuk yang lain, misalnya
gaya repitisi, paralelisme, anaphora, polisidenton, dn asindenton, sedangkan
bentuk-bentuk yang lain misalnya alitrasi, antitesis, klimaks, antiklimaks, dan
pertanyaan retoris.
c.
Pencitraan
Pencitraan merupakan
suatu gaya
penuturan yang banyak dimanfaatkan dalam penulisan sastra. Ia dapat
dipergunakan untuk mengkonkretkan pengungkapan gagasan-gagasan yang sebenarnya
abstrak melalui kata-kata dan ungkapan yang mudah mambangkitkan tanggapan
imajinasi. Dengan daya tanggapan
indera imajinasinya, pembaca akan dapat dengan mudah membayangkan, merasakan,
dan mengkap pesan yang ingin disampaikan pengarang.
4.
Kohesi
Antara bagian kalimat
yang satu dengan bagian yang lain, yang satu dengan yang lain, terdapat
hubungan yang bersifat mangaitkan antarbagian kalimat atau kalimat itu. Penanda kohesi yang berupa sambungan dalam
bahasa Indonesia ada banyak sekali dan berbeda-beda fungsinya. Ia dapat berupa
kata-kata seperti: “dan, kemudian, sedang, tetapi, namun, melainkan, bahwa,
sebab, jika, maka”, dan sebagainya yang menghubungkan antarbagian kalimat,
sebagai preposisi ataupun konjungsi. Penanda kohesi yang menghubungkan
antarkalimat biasanya berupa kata atau kelompok kata seperti: jadi, dengan demikian,
akan tetapi, oleh karena itu, di samping itu”, dan sebagainya.
C. Percakapan Dalam Novel
1.
Narasi dan Dialog
Sebuah karya fiksi umumnya dikembangkan dalam dua
bentuk penuturan: narasi dan dialog. Keduanya ditampilkan tidak bersifat
monoton, terasa variatif, dan segar. Sebuah novel yang hanya dituturkan dalam
narasi saja, atau dengan dialog yang amat sedikit, misalnya disamping terasa
monoton juga akan membosankan. Apalagi stilenya kurang menarik.
2.
Unsur Pragmatik dalam Percakapan
Percakapan yang hidup
dan wajar, walau itu terdapat dalam sebuah novel, adalah percakapan yang sesuai
dengan konteks pemakaiannya, percakapan yang mirip dengan situasi nyata
penggunaan bahasa. Bentuk percakapan yang demikian bersifat pragmatik.
Pemahaman terhadap percakan seperti konteks pragmatic disebut implikatur
(implicature, yang sebenarnya merupakan kepekaan dari conversational
implicature, ‘implikatur percakapan’) (Levinson, 1984: 94-100).
3.
Tindak Ujar
Bentuk-bentuk
penampilan yang berupa perintah, tanya, pernyataan inilah, antara lain, yang
disebut tindak ujar. Pengungkapan kalimat secara berbeda dengan makna yang
kurang lebih sama, seperti telah dikemukakan, merupakan salah satu cara
pemilihan stile. Austin
membedakan penampilan tindak ujar ke dalam tiga macam tindak, yaitu lokusi,
ilokusi, dan perlokusi.
Dimana kamu dapat bukunya? bisa aku minta link nya?
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusbisa minra link buat donwload pdfnya gak.. buat bhan skripsi.. mkasih
BalasHapusapa ini blog resmi yang telah mendapat persetujuan dari pengarang buku tersebut, apakah tidak apa apa, sebenarnya saya telah membagikan halaman ini, untuk pembahasan kami, tapi hanya mergaukan sesuatu, ah sudah lah, domo arigato gozaimas
BalasHapusizin copas buat. buat referensi
BalasHapusMengapa tidak dilampirkan daftar rujukannya, mbak...
BalasHapus