ANALISIS
CERPEN IBU PULANG
DARI
DEWI RIA UTAMI
(Kompas,
2 Januari 2011)
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Apresiasi Sastra
Dosen Pengampu : Drs. Adyana
Sunanda
Disusun
oleh :
Diyan
Safitri
NIM
A310080143
PENDIDIKAN
BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2011
Analisis
Cerpen “Ibu Pulang” karya Dewi Ria Utari (Kompas, 2 Januari 2011).
A. Dari Segi Struktur
Analisis
dari segi struktur cerpen “ibu pulang” meliputi tema, penokohan, alur, latar,
sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.
1.
Tema
Dalam cerpen “ibu
pulang” ini mengandung tema tentang kehidupan seorang gadis remaja yang sejak
kecil ditinggal oleh ibunya karena keegoisan ibunya sendiri.
2.
Penokohan
Dalam cerpen “ibu
pulang” ini terdapat empat tokoh yaitu aku, nenek, ayah, dan ibu.
Tokoh Aku dalam
cerpen tersebut menggambarkan sifat yang tegar dan selalu berfikir positif.
Nenek adalah
seorang tokoh yang bijaksana dan perhatian terhadap keluarga.
Tokoh ayah adalah
seorang ayah yang pendiam karena ditinggal pergi oleh istrinya, dengan alas an
tidak jelas.
Tokoh ibu adalah
seorang ibu yang mengutamakan keegoisannya sendiri, karena meninggalkan anaknya
yang masih kecil.
3.
Alur
cerita
Dalam cerpen “ibu
pulang” ini menggunakan alur lurus. Crrita dimulai dari seorang gadis yang
ditinggal oleh ibunya sejak kecil, dan ia tidak kesepian dan merasa tidak
membutuhkan seorang ibu. Karena ia sudah mempunyai seorang nenek yang sangat
perhatian kepadanya. Sosok nenek telah menggantikan segalanya, menurut tokoh
“Aku” tanpa nenek hidupnya pasti akan mati, dengan adanya seorang ayah tidak
pengaruh apapun terhadap dirinya. Karena ayahnya sama saja mati suri, ayah
menjadi pendiam sejak kepergian ibu.
4.
Latar
Cerita
Dalam cerpen “ibu
pulang” ini menggunakan latar tempat dan waktu.
a.
Latar
Tempat
1) Di
rumah
Awal cerita cerpen ini menceritakan
tokoh “Aku” disuruh pulang kerumah oleh neneknya.
2) Di
gereja
Disini diceritakan bahwa tokoh
“Aku” melewati misa malam natal
digereja.
3) Di
taman
Di sini diceritakan bahwa pada
malam natal ibunya merenung di taman dan tokoh “Aku” menghampirinya.
b.
Latar
Waktu
1) Hari
Natal
Dalam cerpen tersebut dijelaskan
pada kalimat “padahal jelas-jelas aku sudah mengatakan kepadanya kemarin bahwa
natal tahun ini aku tak pulang”.
2) Tahun Baru
Dalam cerpen tersebut telah
disebutkab pada kalimat “dua hari sesudah natal ibu pulang.Aku tetap tinggal
dirumah nenek sampai tahun baru”.
5.
Sudut
Pandang Pengarang
Dalam cerpen
tersebut pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama. Pengarang
menceritakan kehidupannya sendiri. Hal ini terbukti didalam cerepen terdapat
tokoh “AKU” dan ada tokoh lainnya yaitu nenek, ayah dan ibu.
6.
Gaya
Bahasa
Gaya bahasa yang
digunakan dalam cerpen tersebut menggunakan gaya bahasa campuran contohnya
dalam pembicaraan tokoh Nenek, disitu Nenek berkali-kali menggunakan kta “ndak”
yang artinya tidak. Gaya bahasa yang digunakan baik dan menarik.
7.
Amanat
Dalam cerpen
tersebut terdapat berbagai pesan atau amanat yang disampaikan melalui tokoh –
tokohnya.
a. Pesan
yang tersirat untuk tokoh “Aku” melalui cerpen ini adalah, agar setiap orang
harus selalu berfikir positif dan tegar dalam menghadapi setiap masalah. Disini
terbukti dalam kalimat “buatku, Nenek lebih dari seorang ibu”. Itu artinya
walaupun ia kesepian karena ditinggal pergi oleh ibunya tapi tokoh “Aku” bisa hidup tanpa ibunya tersebut, karena sosok
Nenek sudah menggantikan posisinya.
b. Pesan
yang tersirat dari tokoh Nenek yaitu setiap orang tua haruslah bisa perhatian
kepada anaknya. Tanpa kita sadari walaupun diluar anak itu terlihat senang tapi
tidak tahu perasdaannya seperti apa.
c. Pesan
yang tersirat dari tokoh Ayah yaitu setiap orang yang mempunyai pasangan
haruslah tetap setia pada pasangannya tersebut.
d. Pesan
yang tersirat dari tokoh Ibu yaitu sesuatu yang kita benci itu kadang bisa
menjadi bagian dari diri kita.
B. Dari segi Makna
1.
Kesimpulan
Dalam cerpen “Ibu
Pulang” tersebut telah diceritakan bahwa
Seorang anak
yang berperan sebagai tokoh “Aku” ditinggal pergi oleh ibunya sejak kecil
dengan alas an tak jelas. Dan akhirnya anak itu hidup bersama nenek dan Ayahnya
dirumah. Tokoh “Aku” menganggap Neneknya adalah segalanya, ia bisa mati tanda
adanya sosok Nenek. Buat anak itu Nenek lebih dari segalanya. Dan ia merasa
Ayahnya sama saja seperti mati suru, karena Ayahnya menjadi pendiam setelah
kepergian ibunya. Pada malam tahun baru akhirnya ibu anak itu pulang kerumah
Nenek dan ia pun menghampiri Ibunya itu. Berjabat tangan dan Sambil memandang
wajah ibunya yang cantik. Dua hari sesudah Natal ibunya memutuskan untuk pulang.
Dan anak itu mendapat hadiah Natal sebuah Album yang isinya foto-foto waktu ia
masih kecil.
Saran
Dalam cerpen “Ibu
pulang” ini pengarang memvariasi bahasanya menggunakan bahasa campuran seperti
“ndak” yang artinya tidak. Dengan membaca cerpen “Ibu Pulang” ini diharapkan
pembaca bisa mengambil hikmah dan manfaatnya sebagai orang tua haruslah
perhatian kepada anaknya dan jangan egois dan mementingkan keinginannya sendiri
tanpa memikirkan nasib anaknya.
Penulis juga
menyampaikan pesan bahwa seseorang haruslah bertanggung jawab dalam suatu
perbuatannya. Dengan rasa tanggung jawab yang penuh maka seseorang itu akan
dihargai pula oleh orang lain.
Ibu Pulang
Cerpen Dewi Ria Utari (Kompas, 2 Januari
2011)
KRINGG!! Itu
dering telepon kedelapan. Aku tahu pasti siapa peneleponnya. Nenek.
Dia masih saja berusaha
membujukku untuk pulang. Padahal jelas-jelas aku sudah mengatakan kepadanya
kemarin bahwa Natal tahun ini aku tak pulang. Ya. Pulang. Rumah Nenek adalah
rumah untuk pulang. Aku dibesarkan olehnya. Juga oleh ayahku. Tapi tidak oleh
ibuku.
Ibu. Itulah alasan Nenek untuk
menyuruhku pulang. “Sudah lima tahun kamu ndak pulang, Wid. Tahun ini
kamu harus ada. Ibumu pulang,” kata Nenek kemarin lewat telepon. Aku tidak
mengiyakan. Tidak pula menolak. Aku hanya meminta Nenek untuk meneleponku lagi
keesokan harinya, dengan alasan aku harus meminta izin bosku untuk bisa cuti.
“Nenek akan telepon kamu besok
sore ya. Jangan lupa,” tegas Nenek.
Nenek memang tipe orang yang
suka mendesak. Kupikir-pikir sekarang, sifatnya itu memang aku perlukan. Jika
tidak, mungkin aku akan mati. Atau akan jadi pengangguran di rumah. Atau pasrah
saja jika ada orang yang melamarku. Atau jadi gila. Namun semua pilihan itu
tidak terjadi padaku. Berkat Nenek. Dengan keras kepala, dia akan menyuruhku
ini itu. Membangunkanku agar tak terlambat ke sekolah. Menyiapkan makanan
untukku, hingga memilihkan kursus apa saja yang ketika tiba waktunya, ternyata
memang berguna. Toh ketika aku sudah bisa hidup dengan kemampuanku sendiri,
bahkan bisa dibilang berlebih, Nenek tak pernah sedikit pun meminta apa pun
dariku. Dia hanya memintaku untuk pulang setiap Natal.
Dibanding Nenek, Ayah tak
memiliki pengaruh apa pun buatku. Dia sama mati surinya denganku. Membeku.
Diam. Hanya melihatku dengan matanya, tapi tidak dengan jiwanya. Dia sering
hanya menghabiskan waktu di kamarnya, atau di kebun, atau di perpustakaan, atau
di teras rumah. Aku sendiri tak tahu apa yang dikerjakannya. Di kemudian hari,
kutemukan banyak sekali sketsa berisi sosok Ibu dan diriku di kamarnya.
Kata Nenek, Ayah menjadi pendiam
seperti itu sejak kepergian Ibu. Saat aku berusia tiga tahun, Ibu pergi dari
rumah tanpa pamit. Dia baru bilang keberadaannya setelah dua tahun kemudian.
Sepucuk surat datang pada suatu sore. Dikirim dari Brooklyn, New York. Di surat
itu, Ibu mengabarkan bahwa dia baik-baik saja dan lebih memilih tinggal di
sana. Dia berjanji suatu saat akan pulang.
Janji itu ditepatinya saat ini.
Ketika aku sudah berusia seperempat abad. Usia di mana aku sudah tak
membutuhkannya lagi. Saat di mana aku sudah memiliki pendapat sendiri tentang
konsep Ibu. Tentang perlu tidaknya memiliki seorang ibu dalam hidupku. Tentang
tidak semua perempuan bisa dan harus menjadi Ibu.
Buatku, Nenek lebih dari seorang
Ibu. Bahkan juga menjadi Ayah bagiku. Jadi aku merasa tak perlu untuk menemui Ibu.
Tidak untuk Natal kali ini, maupun di hari yang lain. Namun Nenek begitu
mendesakku untuk pulang. Lima Natal sebelumnya, aku tidak lagi pulang dan Nenek
tidak berkata apa pun. Dia sudah sangat mengerti aku telah memiliki kehidupan
sendiri. Justru karena aku lama tak pulang inilah, Nenek menggunakannya sebagai
senjata untuk memaksaku.
“Nenek ndak masalah
kamu sudah lama ndak pulang. Bahkan Nenek juga ndak pernah
minta apa pun dari kamu kan? Sekarang Nenek cuma minta kamu pulang, tapi kamu
masih mikir-mikir. Sudahlah. Jika kamu ndak mau pulang karena ibumu,
setidaknya kamu pulang buat Nenek,” pinta Nenek dengan nada kesal. Ketimbang
memelas atau mengiba, Nenek memang lebih nyaman untuk bersikap marah atau
ngambek. Setahuku dia memang bukan tipe nenek-nenek tua yang lemah. Tak heran
jika dia masih bisa mengurus rumah sendiri di usia hampir 80 tahun hingga dua
tahun lalu, kusewa seorang pembantu untuk membantunya. Usul yang ditolaknya
mentah-mentah, namun Nenek berhasil kuancam untuk tidak mengusirnya.
“Dia sudah tidak punya rumah
lagi, Nek. Kalau Nenek mengusirnya, dia bisa bunuh diri,” kataku.
Sesuai dengan iman Kristianinya
yang begitu kuat, Nenek sangat membenci bunuh diri. Karena itulah dia
mati-matian menjagaku dan Ayah untuk tidak mengakhiri hidup dengan tangan
sendiri.
Pikiran tentang mengakhiri hidup
sebenarnya tak pernah terlintas di benakku. Tidak dengan Ayah. Aku tahu dia
sudah tak ada keinginan hidup tanpa Ibu di sisinya. Namun setelah
bertahun-tahun kemudian, aku jadi berpikir mungkin karena kesetiaannya itulah
Ibu pergi meninggalkannya.
***
Akhirnya aku memutuskan untuk
pulang tepat pada malam Natal. Nenek terlihat kesal karena aku melewatkan misa
malam Natal di gereja. Aku memang sengaja karena aku tidak berminat bertemu
dengan orang-orang yang mungkin masih mengenalku jika aku misa bersama Nenek di
gereja kota kecil ini. “Padahal tadi aku bertemu dengan teman-teman misdinarmu
dulu, lho. Mereka sudah berkeluarga dan punya anak,” kata Nenek sambil menata
piring di meja untuk makan malam. Aku hanya mengangguk malas.
Sejak aku tiba di rumah Nenek,
aku memilih diam. Apalagi ketika bertemu Ibu. Begitu aku memasuki rumah, Nenek
langsung menarikku ke ruang makan dan memperkenalkan seorang perempuan yang
sedang duduk di kursi makan. Begitu melihatku, dia segera berdiri.
“Wid, apa kabar?” ujarnya sambil
mengulurkan tangannya, mengajakku bersalaman. Kedua telapak tangan kami
berjabatan. Seperti sepasang asing yang baru akan memperkenalkan diri.
“Baik. Bagaimana perjalanan
Ibu?” tanyaku sambil menarik kursi di dekatnya.
Dan mengalirlah pembicaraan di
antara kami bertiga: aku, Ibu, dan Nenek.
Ibu seorang perempuan yang
tenang. Cara bicaranya teratur. Senyumnya tipis dan seperlunya. Rambutnya
panjang sebahu dengan sebagian uban di beberapa tempat. Tubuhnya kurus. Namun
terlihat kuat dan kokoh. Meski kerut di beberapa bagian di wajahnya jelas
terlihat, Ibu terlihat masih memperlihatkan sisa-sisa kecantikannya di masa
lalu. Bentuk wajahnya oval dengan alis yang tebal dan hidung yang mancung.
Sorot matanya tajam namun teduh.
Pembicaraan kami lebih banyak
tentang kehidupan Ibu di sana yang bekerja di sebuah galeri seni. Kemudian
tentang penerbangan yang melelahkan dan rasa kangennya akan masakan Indonesia.
Di Brooklyn, Ibu jarang masak. Tapi dia tahu tempat-tempat di New York yang
menjual bumbu-bumbu Indonesia. Perbincangan kami terhenti karena Nenek sudah
mengantuk. Kami pun berpisah dan menuju kamar masing-masing. Malam itu, Ibu
tidur di kamar Ayah.
Tengah malam aku terbangun.
Entah mimpi apa yang membangunkanku, aku sudah lupa. Yang jelas aku terbangun
dengan perasaan hampa. Kuputuskan keluar kamar untuk mengambil air minum.
Tenggorokanku terasa kering. Di dapur, aku melihat setitik cahaya di teras
taman belakang. Aku bergegas ke sana dan melihat Ibu tengah duduk sambil
mengisap rokok.
“Selamat Natal, Wid,” ujar Ibu
sambil menawarkan rokok kepadaku.
Aku
menggeleng. “Selamat Natal juga, Bu.”
“Tak bisa tidur atau terbangun?”
tanyanya.
“Terbangun.”
Agak lama keheningan menguasai
kami berdua. Akhirnya Ibu yang pertama mengeluarkan suara saat rokoknya habis.
“Bagaimana suamiku meninggal
saat itu?”
“Ayah meninggal saat tidur. Aku
dan Nenek tak mengetahuinya sampai pagi, ketika Nenek hendak membangunkan dia.”
“Begitu ya. Tahukah kamu dari
dulu dia menginginkan kematian seperti itu. Kematian yang mengendap-endap. Bak
pencuri. Tak meninggalkan tanda apa pun. Tak merepotkan siapa pun,” kata Ibu
sambil memandang kegelapan.
“Kenapa Ibu tak pulang waktu
Ayah meninggal?”
“Aku tak cukup kuat melihatnya
tak bisa lagi bergerak, tersenyum, atau sekadar menggodaku dengan cubitan di
pipiku. Tahukah kamu, dia dulu sangat suka duduk di sini. Sambil melukis atau
membersihkan rumput. Sementara aku melihatnya dari balik jendela dapur. Begitu
kamu lahir, dia tak lagi melukis. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan
mengajakmu bermain di sini. Kamu didudukkan di rumput, dan kemudian dia akan
merangkai berbagai macam bunga untuk dijadikan mahkota di kepalamu,” kata Ibu.
“Sepertinya indah dan
menyenangkan. Lantas kenapa Ibu pergi?” akhirnya aku berhasil mempertanyakan
hal yang dari dulu membuatku geram.
“Aku belum siap memiliki kamu.
Sementara dia menginginkanmu begitu kami menikah. Ketika akhirnya aku hamil,
dia semakin membuatku sesak dengan perhatian dan cintanya yang begitu sempurna.
Membuatku merasa bersalah dari waktu ke waktu karena aku tak pernah bisa
mencintainya sebesar itu. Saat kamu lahir, aku tahu dia akan bisa mencintaimu
sebesar dia mencintaiku. Kujadikan dirimu sebagai penggantiku.”
“Ayah tak pernah bisa menjadikan
siapa pun sebagai pengganti Ibu. Termasuk diriku.”
“Aku tahu. Perpisahan yang
sia-sia,” ujar Ibu sambil beranjak dari duduknya. “Aku sudah mengantuk, Wid.
Aku tidur dulu ya,” pamit Ibu.
Aku mengangguk dan memutuskan
tetap duduk sambil menunggu fajar. Dalam kegelapan, aku membayangkan
kehidupanku jika Ibu tak pernah pergi. Mungkin Ayah tetap hidup dan setiap
tahun aku akan pulang untuk merayakan Natal. Kemudian kami semua akan berkumpul
di dekat pohon natal sambil saling bertukar kado. Atau seperti di film-film
Hollywood, aku, Ibu, dan Nenek akan memasak hidangan natal bersama. Mungkin
juga akan muncul pertengkaran layaknya sebuah keluarga, ketika aku
memperkenalkan calon suami saat Natal tiba dan orangtuaku tidak menyetujuinya.
Bahkan bukan tidak mungkin aku sudah memberikan cucu untuk Ayah dan Ibu.
Dua hari setelah Natal, Ibu
pulang. Aku tetap tinggal di rumah Nenek sampai Tahun Baru. Setelah
kepergiannya, aku akhirnya menyadari bahwa Ibu pergi karena tidak pernah
memaafkan dirinya sendiri. Kesimpulan ini kudapatkan dari cerita Nenek dan
hadiah Natal dari Ibu. Sewaktu kubuka, hadiah itu berisi album foto yang
memasang foto-fotoku sewaktu kecil. Aku belum pernah melihat foto-foto itu.
Sembari melihat isi album foto
itu, Nenek akhirnya bercerita bahwa Ayah begitu menginginkan anak dalam
pernikahannya dengan Ibu. Aku lahir lima tahun kemudian. Namun kehadiranku tak
bisa menghalangi kepergian Ibu. Bagi Ayah, aku adalah hadiah dalam hidupnya.
Sementara bagi Ibu, kehadiranku adalah memorabilia ketidaksetiaannya. Kini aku
menyadari mengapa wajahku tidak sama dengan Ayah maupun Ibu. Di halaman
terakhir album foto itu, kulihat diriku sewaktu kecil berada di sebuah taman.
Aku dipangku Ibu yang sedang duduk bersama seorang lelaki dengan sorot mata dan
senyum yang sama denganku. (*)
Jakarta, Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar